Peradaban Lembah Sungai Gangga
(India Kuno)
1. Pusat Peradaban
Pusat peradaban Lembah Sungai Gangga
terletak antara Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Windya-Kedna.
Pendukung peradaban Lembah Sungai
Gangga adalah bangsa Arya yang termasuk bangsa Indo-Jerman. Mereka datang dari
daerah Kaukasus dan menyebar ke arah timur. Bangsa Arya memasuki wilayah India
antara tahun 200-1500 SM, melalui Celah Kaibar di Pegunungan Hirnalaya.
Bangsa Arya adalah bangsa peternak
dengan kehidupan yang terus mengembara. Setelah berhasil mengalahkan bangsa
Dravida di Lembah Sungai Indus dan menguasai daerah yang subur, akhirnya mereka
hidup menetap.
Selanjutnya, mereka menduduki Lembah
Sungai Gangga dan terus mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaan campuran antara
kebudayaan bangsa Arya dengan bangsa Dravida dikenal dengan sebutan kebudayaan
Hindu.
2. Pemerintahan
Perkembangan sistem pemerintahan di
Lembah Sungai Gangga merupakan kelanjutan ~an sistem pemerintahan masyarakat di
daerah Lembah Sungai Indus. Runtuhnya Kerajaan Maurya menjadikan keadaan
kerajaan menjadi kacau dikarenakan peperangan antara kerajaan-kerajaan kecil
yang ingin berkuasa. Keadaan yang kacau, mulai aman kembali setelah munculnya
kerajaan-kerajaan baru. Kerajaan-kerajaan tersebut di antaranya Kerajaan Gupta
dan Kerajaan Harsha.
Kerajaan Gupta
Pendiri Kerajaan Gupta adalah Raja
Candragupta I dengan pusatnya di Lembah Sungai Gangga. Pada masa pemerintahan
Raja Candragupta I, agama Hindu dijadikan agama negara, namun agama Buddha
masih tetap dapat berkembang.
Masa kejayaan Kerajaan Gupta terjadi
pada masa pemerintahan Samudragupta (Cucu Candragupta 1). Pada masa
pemerintahannya Lembah Sungai Gangga dan Lembah Sungai Indus berhasil
dikuasainya dan Kota Ayodhia ditetapkan sebagai ibukota kerajaan.
Pengganti Raja Samudragupta adalah
Candragupta II, yang dikenal sebagai Wikramaditiya. Ia juga bergama Hindu,
namun tidak memandang rendah dan mempersulit perkembangan agama Budha. Bahkan
pada masa pemerintahannya berdiri perguruan tinggi agama Buddha di Nalanda. Di
bawah pemerintahan Candragupta II kehidupan rakyat semakin makmur dan
sejahtera.. Kesusastraan mengalami masa gemilang. Pujangga yang terkenal pada
masa ini adalah pujangga Kalidasa dengan karangannya berjudul
"Syakuntala". Perkembangan seni patung mencapai kemajuan yang juga
pesat. Hal ini terlihat dari pahatan-pahatan dan patung-patung terkenal
menghiasi kuil-kuil di Syanta.
Dalam-perkembangannya Kerajaan Gupta
mengalami kemunduran setelah meninggalnya Raja Candragupta II. India mengalami
masa kegelapan selama kurang lebih dua abad.
Kerajaan Harsha
Setelah mengalami masa kegelapan,
baru pada abad ke-7 M muncul Kerajaan Harsha dengan rajanya Harshawardana. Ibu
kota Kerajaan Harsha adalah Kanay. Harshawardana merupakan seorang pujangga
besar. Pada masa pemerintahannya kesusastraan dan pendidikan berkembang dan
pesat. Salah satu pujangga yang terkenal pada masa kerajaan Harshawardana
adalah pujangga Bana dengan karyanya berjudul "Harshacarita".
Raja Harsha pada awalnya memeluk
agama Hindu, tetapi kemudian memeluk agama Buddha. Di tepi Sungai Gangga banyak
dibangun wihara dan stupa, serta dibangun tempattempat penginapan dan fasilitas
kesehatan. Candi-candi yang rusak diperbaiki dan membangun candi-candi baru.
Setelah masa pemerintahan Raja Harshawardana hingga abad ke-1 1 M tidak pernah
diketahui adanya raja-raja yang pernah berkuasa di Harsha.
Kebudayaan Lembah Sungai Gangga
Di Lembah Sungai Gangga inilah
kebudayaan Hindu berkembang, baik di wilayah India maupun di luar India.
Masyarakat Hindu memuja banyak dewa (Politeisme). Dewa-dewa tersebut, antara
lain, Dewa Bayu (Dewa Angin), Dewa Baruna (Dewa Laut), Dewa Agni (Dewa Api),
dan lain sebagainya. Dalam agama Hindu dikenal dengan sistem kasta, yaitu
pembagian kelas sosial berdasarkan warna dan kewajiban sosial. Dalam
perkembangan selanjutnya, sistem kasta inilah yang menyebabkan munculnya agama
Buddha. Hal ini dipelopori oleh Sidharta Gautama.
Agama Buddha mulai menyebar ke
masyarakat India setelah Sidharta Gautama mencapai tahap menjadi Sang Buddha.
Agama Buddha terbagi menjadi dua aliran, yaitu Buddha Mahayana dan Buddha
Hinayana. Peradaban Sungai Gangga meninggalkan beberapa bentuk kebudayaan yang
tinggi seperti kesusastraan, seni pahat, dan seni patung. Peradaban dari lembah
sungai ini kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di Asia termasuk di
Indonesia.
Peradaban
Lembah Sungai Indus- Jazirah India terletak di Asia Selatan. India juga disebut
Anak Benua Asia karena letaknya seolah-olah terpisah dari daratan Asia. Di
utara India terdapat Pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi. Pegunungan
Himalaya menjadi pemisah antara India dan daerah lain di Asia. Di bagian Barat
pegunungan Himalaya terdapat celah yang disebut Celah Khaibar. Di India
terdapat berbagai bahasa, di antaranya yang terpenting yaitu sebagai berikut.
bahasa
Munda atau bahasa Kolari. Bahasa ini terdapat di Kashmir.
Bahasa
Dravida, mempunyai 14 macam, seperti Tamil, Telugu, Kinare, Malayam, Gondhi,
dan Berahui.
Bahasa
Indo-Jerman, mempunyai bahasa daerah sembilan belas macam, salah satunya adalah
bahasa Sanskerta dan Prakreta.
Bahasa
Hindustani. Bahasa ini muncul di Delhi dan merupakan percampuran antara bahasa
Arab, Parsi, dan Sanskerta. Bahasa ini disebut pula bahasa Urdu.
Mempelajari
bahasa Sanskerta merupakan salah satu upaya untuk mengetahui perjalanan sejarah
bangsa Indonesia pada masa lalu. Hal ini juga ditujukan untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha pada masyarakat Indonesia, di luar
pengaruhnya pada politik, ekonomi, dan pemerintahan. William Jones berpendapat
bahwa bahasa Sanskerta merupakan bahasa yang serumpun dengan bahasa Parsi,
Germania, dan Kelt. Studi tertua tentang India, membawa kita ke India pada masa
interglasial II, yaitu sekitar 400.000 SM hingga 200.000 SM. Hal ini
berdasarkan hasil penelitian terhadap jenis bebatuan pada lapisan tanah di
kawasan India. Dari penelitian ini, terungkaplah sebuah fakta mengenai sejarah
manusia yang mendiami kawasan itu setelah melihat artefak-artefak peninggalan
purba di Lembah Indus. Para ahli lalu menyimpulkan bahwa di kawasan ini pernah
berlangsung sebuah peradaban Lembah Sungai Indus, yang terkenal dengan nama
peradaban Mohenjodaro-Harappa, yang berkembang pada 2300 SM. Melalui Celah
Khaibar, bangsa India berhubungan dengan daerah-daerah lain di sebelah
utaranya. Daerah Lembah Sungai Indus terletak di
Barat
Laut India. Sungai Indus berasal dari mata air di Tibet, mengalir melalui
Pegunungan Himalaya. Setelah menyatu dengan beberapa aliran sungai yang lain,
akhirnya bermuara ke Laut Arab. Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900
kilometer. Apabila Anda memperhatikan Sungai Indus pada peta dewasa ini, maka
sungai tersebut mengaliri tiga wilayah yaitu Kashmir, India, dan Pakistan. Sisa
peradaban Lembah Sungai Indus ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu
Mohenjodaro dan Harappa. Penghuninya dikenal dengan suku bangsa Dravida dengan
ciri-ciri tubuh pendek, hidung pesek, rambut keriting hitam, dan kulit berwarna
hitam.
Penemuan
arkeologis di Mohenjodaro-Harappa mulai terjadi ketika para pekerja sedang
memasang rel kereta api dari Karachi ke Punjab pada pertengahan abad ke-19.
Pada waktu itu, ditemukan benda-benda kuno yang sangat menarik perhatian Jenderal
Cunningham, yang kemudian diangkat sebagai Direktur Jendral Arkeologi di
India. Sejak saat itu, maka dimulailah penggalian-penggalian secara lebih
intensif di daerah Mohenjodaro- Harappa.
1.
Keadaan sosial budaya Lembah Sungai Indus
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu semua belum terungkap.
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu semua belum terungkap.
Benda-benda
lain yang ditemukan di kawasan Mohenjodaro-Harappa adalah bermacam-macam periuk
belanga yang sudah dibuat dengan teknik tuang yang tinggi. Selain itu ditemukan
juga benda-benda yang terbuat dari porselin Tiongkok yang diduga digunakan
sebagai gelang, patung-patung kecil, dan lain-lain. Dari hasil penggalian
benda, dapat diasumsikan bahwa teknik menuang logam yang telah mereka lakukan
sudah tinggi. Mereka dapat membuat piala-piala emas. Mereka dapat membuat
piala-piala emas, perak, timah hitam, tembaga, maupun perunggu. Penduduk
Mohenjodaro-Harappa sudah mampu membuat perkakas hidup berupa benda tajam yang
dibuat dengan baik. Namun, senjata seperti tombak, ujung anak panah, ataupun
pedang, sangat rendah mutu buatannya. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk
Mohenjodaro-Harappa merupakan orang-orang yang cinta damai, atau dengan kata
lain tidak suka berperang. Pada masa ini pula, diduga masyarakat
Mohenjodaro-Harappa telah mengenal hiburan berupa tari-tarian yang diiringi
genderang. Di tempat penggalian ini juga ditemukan alat-alat permainan berupa
papan bertanda serta kepingan-kepingan lain. Masyarakat Mohenjodaro-Harappa
telah mempunyai tata kota yang sangat baik. Masyarakat pendukung kebudayaan ini
juga dikenal mempunyai sistem sanitasi yang amat baik. Mereka mempunyai tempat
pemandian umum, yang dilengkapi dengan saluran air dan tangki air di atas
perbentengan jalan-jalan utama.
2.
Perkembangan kepercayaan Lembah Sungai Indus
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
3.
Politik dan pemerintahan Lembah Sungai Indus
Kondisi kehidupan perpolitikan pada masa transisi (pasca Harappa hingga masa Arya), tampaknya mulai terganggu dengan menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan Lembah Indus selama paruh kedua millenium II SM. Mungkin saja terjadi karena pendukung kebudayaan Indus itu musnah atau melarikan diri agar selamat ke tempat lain, sementara para penyerang tidak bermaksud untuk meneruskan tata pemerintahan yang lama. Hal ini bisa terjadi karena diasumsikan tingkat peradaban bangsa Arya yang masih dalam tahap mengembara, belum mampu melanjutkan kepemimpinan masyarakat Indus yang relatif lebih maju, dilihat dari dasar kualitas peninggalan kebudayaan yang mereka tinggalkan.
Kondisi kehidupan perpolitikan pada masa transisi (pasca Harappa hingga masa Arya), tampaknya mulai terganggu dengan menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan Lembah Indus selama paruh kedua millenium II SM. Mungkin saja terjadi karena pendukung kebudayaan Indus itu musnah atau melarikan diri agar selamat ke tempat lain, sementara para penyerang tidak bermaksud untuk meneruskan tata pemerintahan yang lama. Hal ini bisa terjadi karena diasumsikan tingkat peradaban bangsa Arya yang masih dalam tahap mengembara, belum mampu melanjutkan kepemimpinan masyarakat Indus yang relatif lebih maju, dilihat dari dasar kualitas peninggalan kebudayaan yang mereka tinggalkan.
4.
Faktor penyebab kemunduran Lembah Sungai Indus
Beberapa teori menyatakan bahwa jatuhnya peradaban Mohenjodaro- Harappa disebabkan karena adanya kekeringan yang diakibatkan oleh musim kering yang amat hebat serta lama. Atau mungkin juga disebabkan karena bencana alam berupa gempa bumi ataupun gunung meletus, mengingat letaknya yang berada di bawah kaki gunung. Wabah penyakit juga bisa dijadikan salah satu alasan punahnya peradaban Mohenjodaro-Harappa. Tetapi, satu hal yang amat memungkinkan menjadi penyebab runtuhnya peradaban Mohenjodaro-Harappa ialah adanya serangan dari luar. Diduga, serangan ini berasal dari bangsa Arya. Mereka menyerbu, lalu memusnahkan seluruh kebudayaan bangsa yang berbicara bahasa Dravida ini. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan pada kitab Weda. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa bangsa yang dikalahkan itu ialah Dasyu atau yang tidak berhidung. Dugaan tersebut didasarkan atas anggapan bahwa orang-orang yang mereka taklukkan adalah orang-orang yang tidak suka berperang. Hal ini bisa dilihat dari teknologi persenjataan yang kurang baik, misalnya dari kualitas ujung tombak maupun pedang mereka. Bukti-bukti yang lain adalah adanya kumpulan tulang belulang manusia yang terdiri atas anak-anak dan wanita yang berserakan di sebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat pemandian umum ataupun jalanan umum. Bentuk dan sikap fisik yang menggeliat, mengindikasikan adanya serangan, apalagi jika melihat adanya bagian tulang leher yang terbawa ke bagian kepala, ketika kepala itu terlepas dari tubuh. Sejak 1500 SM, peradaban Mohenjodaro-Harappa runtuh, tidak lama setelah bangsa Arya itu memasuki wilayah India lewat Iran. Sejak saat itu, dimulailah masa baru dalam perkembangan kebudayaan India di bagian utara.
Beberapa teori menyatakan bahwa jatuhnya peradaban Mohenjodaro- Harappa disebabkan karena adanya kekeringan yang diakibatkan oleh musim kering yang amat hebat serta lama. Atau mungkin juga disebabkan karena bencana alam berupa gempa bumi ataupun gunung meletus, mengingat letaknya yang berada di bawah kaki gunung. Wabah penyakit juga bisa dijadikan salah satu alasan punahnya peradaban Mohenjodaro-Harappa. Tetapi, satu hal yang amat memungkinkan menjadi penyebab runtuhnya peradaban Mohenjodaro-Harappa ialah adanya serangan dari luar. Diduga, serangan ini berasal dari bangsa Arya. Mereka menyerbu, lalu memusnahkan seluruh kebudayaan bangsa yang berbicara bahasa Dravida ini. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan pada kitab Weda. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa bangsa yang dikalahkan itu ialah Dasyu atau yang tidak berhidung. Dugaan tersebut didasarkan atas anggapan bahwa orang-orang yang mereka taklukkan adalah orang-orang yang tidak suka berperang. Hal ini bisa dilihat dari teknologi persenjataan yang kurang baik, misalnya dari kualitas ujung tombak maupun pedang mereka. Bukti-bukti yang lain adalah adanya kumpulan tulang belulang manusia yang terdiri atas anak-anak dan wanita yang berserakan di sebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat pemandian umum ataupun jalanan umum. Bentuk dan sikap fisik yang menggeliat, mengindikasikan adanya serangan, apalagi jika melihat adanya bagian tulang leher yang terbawa ke bagian kepala, ketika kepala itu terlepas dari tubuh. Sejak 1500 SM, peradaban Mohenjodaro-Harappa runtuh, tidak lama setelah bangsa Arya itu memasuki wilayah India lewat Iran. Sejak saat itu, dimulailah masa baru dalam perkembangan kebudayaan India di bagian utara.
5.
Masa Arya
a. Perkembangan agama Hindu dan Kerajaan Gupta
Pada tahun 1500 SM, bangsa Arya yang berasal dari Asia Tengah masuk ke wilayah India melalui Celah Khaibar. Kedatangan mereka mendesak bangsa Dravida. Bangsa Arya yang merupakan bangsa penggembala berkulit putih dan badan tinggi besar berperang beberapa lamanya dengan bangsa Dravida. Peperangan tersebut mengakibatkan bangsa Dravida pindah ke selatan, namun ada juga yang tetap bertahan dan melakukan interaksi dengan bangsa pendatang tersebut. Interaksi yang terus-menerus itu menimbulkan asimilasi kebudayaan, yaitu lahirnya kebudayaan Hindu yang merupakan percampuran kebudayaan Dravida dan Arya. Pada perkembangannya, agama Hindu mengalami beberapa kali perubahan yaitu sebagai berikut.
Pada tahun 1500 SM, bangsa Arya yang berasal dari Asia Tengah masuk ke wilayah India melalui Celah Khaibar. Kedatangan mereka mendesak bangsa Dravida. Bangsa Arya yang merupakan bangsa penggembala berkulit putih dan badan tinggi besar berperang beberapa lamanya dengan bangsa Dravida. Peperangan tersebut mengakibatkan bangsa Dravida pindah ke selatan, namun ada juga yang tetap bertahan dan melakukan interaksi dengan bangsa pendatang tersebut. Interaksi yang terus-menerus itu menimbulkan asimilasi kebudayaan, yaitu lahirnya kebudayaan Hindu yang merupakan percampuran kebudayaan Dravida dan Arya. Pada perkembangannya, agama Hindu mengalami beberapa kali perubahan yaitu sebagai berikut.
1)
Fase Weda
Pada masa ini masyarakat Hindu mendasarkan hidupnya agar sesuai dengan ajaran Weda. Kitab Weda terdiri 4 kitab yaitu: Regweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Regweda merupakan kitab yang berisi syair puji-pujian pada dewa. Samaweda berisi nyanyian-nyayian untuk upacara-upacara keagamaan. Yajurweda berisi doa-doa puisi dan prosa. Adapun Atharwaweda berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit, ilmu sihir, dan doa-doa untuk peperangan. Kitab-kitab tersebut merupakan pegangan bagi masyarakat Hindu. Namun, pada umumnya mereka hanya mempelajari tiga kitab saja, karena mereka menilai Atharwaweda memiliki kecenderungan kepada ilmu sihir. Tidak semua kalangan Hindu menolak Atharwaweda. Ada sebagian kalangan, terutama para Brahmana, yang mempelajarinya dengan tujuan untuk menangkal ilmu sihir. Pada fase Weda umat Hindu menyembah banyak dewa (politheisme), salah satu dewa terbesar adalah Dewa Indra, Ganesa.
Pada masa ini masyarakat Hindu mendasarkan hidupnya agar sesuai dengan ajaran Weda. Kitab Weda terdiri 4 kitab yaitu: Regweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Regweda merupakan kitab yang berisi syair puji-pujian pada dewa. Samaweda berisi nyanyian-nyayian untuk upacara-upacara keagamaan. Yajurweda berisi doa-doa puisi dan prosa. Adapun Atharwaweda berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit, ilmu sihir, dan doa-doa untuk peperangan. Kitab-kitab tersebut merupakan pegangan bagi masyarakat Hindu. Namun, pada umumnya mereka hanya mempelajari tiga kitab saja, karena mereka menilai Atharwaweda memiliki kecenderungan kepada ilmu sihir. Tidak semua kalangan Hindu menolak Atharwaweda. Ada sebagian kalangan, terutama para Brahmana, yang mempelajarinya dengan tujuan untuk menangkal ilmu sihir. Pada fase Weda umat Hindu menyembah banyak dewa (politheisme), salah satu dewa terbesar adalah Dewa Indra, Ganesa.
2)
Fase brahmana
Pada fase ini kaum Brahmana menjadi kelas tersendiri dalam masyarakat Hindu yang memiliki keistimewaan yaitu kedudukan yang tinggi. Memang, dalam sistem kasta, kaum Brahmana mendapat posisi tertinggi, yang disusul oleh kaum Ksatria yang terdiri atas raja dan para bangsawan serta prajurit. Kasta ketiga yaitu Waisya yang terdiri atas para pedagang, dan keempat adalah kasta Sudra. Kaum Brahmana mendapat tempat yang tertinggi dalam agama Hindu disebabkan kemampuan mereka dalam menerjemahkan dan memahami kitab Weda. Pada fase ini banyak sekali diadakan upacara-upacara yang wajib dihadiri dan dipimpin oleh kaum Brahmana. Dengan demikian, kedudukan Brahmana menjadi teramat penting.
Pada fase ini kaum Brahmana menjadi kelas tersendiri dalam masyarakat Hindu yang memiliki keistimewaan yaitu kedudukan yang tinggi. Memang, dalam sistem kasta, kaum Brahmana mendapat posisi tertinggi, yang disusul oleh kaum Ksatria yang terdiri atas raja dan para bangsawan serta prajurit. Kasta ketiga yaitu Waisya yang terdiri atas para pedagang, dan keempat adalah kasta Sudra. Kaum Brahmana mendapat tempat yang tertinggi dalam agama Hindu disebabkan kemampuan mereka dalam menerjemahkan dan memahami kitab Weda. Pada fase ini banyak sekali diadakan upacara-upacara yang wajib dihadiri dan dipimpin oleh kaum Brahmana. Dengan demikian, kedudukan Brahmana menjadi teramat penting.
3)
Fase uphanisad
Pada fase ini terjadi pemberontakan terhadap kaum Brahmana, baik yang dilakukan oleh Ksatria (melahirkan agama Buddha dan Jaina) maupun yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Pada masa ini berkembang paham atheisme, masyarakat berbondong-bondong meninggalkan agama Hindu.
Pada fase ini terjadi pemberontakan terhadap kaum Brahmana, baik yang dilakukan oleh Ksatria (melahirkan agama Buddha dan Jaina) maupun yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Pada masa ini berkembang paham atheisme, masyarakat berbondong-bondong meninggalkan agama Hindu.
4)
Fase Hindu Baru
Kaum Brahmana kembali berusaha memperbaiki ajaran Hindu yang mulai ditinggalkan pengikutnya, maka lahirlah Agama Hindu Baru. Pada masa ini muncul tiga dewa besar (Trimurti) yaitu Siwa (dewa perusak), Wisnu (dewa pemelihara), dan Brahma (dewa pencipta). Ajaran Hindu berkeyakinan tentang adanya reinkarnasi, yaitu suatu pemahaman bahwa hidup ini akan terus berulang jika manusia tidak dapat melepaskan diri dari nafsu. Untuk lepas dari lingkaran Samsara tersebut, maka penganut Hindu harus menyesuaikan hidupnya sesuai Weda dengan melaksanakan dharma sesuai tuntunan kaum Brahmana. Pada masa itu bangsa Arya mendirikan Kerajaan Gupta. Kerajaan ini diperintah oleh raja antara lain: Chandragupta, Samudra Gupta, dan Candragupta
Kaum Brahmana kembali berusaha memperbaiki ajaran Hindu yang mulai ditinggalkan pengikutnya, maka lahirlah Agama Hindu Baru. Pada masa ini muncul tiga dewa besar (Trimurti) yaitu Siwa (dewa perusak), Wisnu (dewa pemelihara), dan Brahma (dewa pencipta). Ajaran Hindu berkeyakinan tentang adanya reinkarnasi, yaitu suatu pemahaman bahwa hidup ini akan terus berulang jika manusia tidak dapat melepaskan diri dari nafsu. Untuk lepas dari lingkaran Samsara tersebut, maka penganut Hindu harus menyesuaikan hidupnya sesuai Weda dengan melaksanakan dharma sesuai tuntunan kaum Brahmana. Pada masa itu bangsa Arya mendirikan Kerajaan Gupta. Kerajaan ini diperintah oleh raja antara lain: Chandragupta, Samudra Gupta, dan Candragupta
b. Perkembangan agama Buddha
Tokoh pendiri agama Buddha adalah Gautama Sakyamuni. Nama ini mengandung arti orang bijak dari Sakya, ia diperkirakan lahir pada 563 SM. Ia adalah putra seorang kepala daerah yang bernama Suddhodana di Kapilavastu, perbatasan Nepal. Ketika umurnya sudah mencukupi, Gautama menikah dengan kemenakannya yang bernama Yasodhara. Selang beberapa waktu, Yasodhara melahirkan seorang anak yang bernama Rahula. Pada umur 29 tahun, Gautama memutuskan untuk meninggalkan keduniawian, meninggalkan istana dan mengembara dengan jubah kuning. Sampai pada suatu waktu, ketika Gautama sedang duduk di bawah sebatang pohon pipala di Bodhi Gaya, ia menerima penerangan atau Bodhi. Di tempat itu kemudian dibangun candi yang bernama Mahabodhi.
Tokoh pendiri agama Buddha adalah Gautama Sakyamuni. Nama ini mengandung arti orang bijak dari Sakya, ia diperkirakan lahir pada 563 SM. Ia adalah putra seorang kepala daerah yang bernama Suddhodana di Kapilavastu, perbatasan Nepal. Ketika umurnya sudah mencukupi, Gautama menikah dengan kemenakannya yang bernama Yasodhara. Selang beberapa waktu, Yasodhara melahirkan seorang anak yang bernama Rahula. Pada umur 29 tahun, Gautama memutuskan untuk meninggalkan keduniawian, meninggalkan istana dan mengembara dengan jubah kuning. Sampai pada suatu waktu, ketika Gautama sedang duduk di bawah sebatang pohon pipala di Bodhi Gaya, ia menerima penerangan atau Bodhi. Di tempat itu kemudian dibangun candi yang bernama Mahabodhi.
Pengaruh
Peradaban Lembah Sungai Indus pada Masyarakat Indonesia
Beberapa
pengaruh peradaban Lembah Sungai Indus terhadap kebudayaan dan seluruh aspek
kehidupan bangsa Indonesia antara lain sebagai berikut.
Pembakaran
dupa dan kemenyan ketika akan melakukan upacara.
Keyakinan
tentang zimat atau benda yang mempunyai kesaktian tertentu.
Keyakinan
pada batara kala, upacara ruatan.
Pengagungan
pada cerita Ramayana dan Mahabharata dalam cerita wayang
Upacara
wedalan (hari lahir), sekaten, penanggalan Hindu, hari pasaran, perhitungan
wuku, dan upacara-upacara setelah kematian seseorang.
Banyaknya
kata-kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sanskerta dan Pali.
Olahraga
pernapasan, yaitu yoga.
Islam
yang berkembang di Indonesia berasal dan dipengaruhi budaya India. Hal itu
dibuktikan dengan melihat hal-hal berikut:
1)
batu kubur atau nisan Sultan Malik As Saleh terbuat dari batu marmer yang
memiliki corak yang sama dengan yang ada di India pada abad ke-13, relief yang
terdapat dalam makam Sultan Malik As Saleh memiliki corak yang sama dengan yang
ada di kuil Cambay India, serta 3) adanya unsur-unsur Islam yang menunjukkan
persamaan dengan India, salah satunya cerita atau hikayat tentang nabi dan
pengikutnya sangat jauh dari cerita-cerita Arab, tetapi malah lebih mirip
dengan cerita dari India.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar