Pemudi Persis berdiri sejak resmi sebagai bagian otonom di bawah naungan
dan binaan Persis tanggal 28 Februari 1954. Awal berdirinya Pemudi
Persis bernama Jam’iyyatul Banaat, tidak disingkat. Nama itu terdapat
pada “Anggaran Dasar Djam’ijjatul Banaat” pasal 1 tertanggal 18 Desember
1956 yang ditandatangani oleh Ketua umum Jam’iyyatul Banaat pertama,
Aminah D. Sjihab, dan sekretaris-I, Permasih Hassan.
Sebenarnya, jam’iyyatl Bannat, pertama kali berdiri, telah menggunakan
“pemudi” untuk menyebut dirinya (bukan organisasi), seperti tertulis
pada pasal 4 tentang maksud dan tujuan jam’iyyatul bannat, yaitu (1)
meninggikan derajat pemudi dalam rumah tangga dan masyarakat sesuai
dengan ajaran islam; dan (2) mempersatukan pemudi Islam dalam satu
susunan jamaah.
Sementara dalam Pasal 5 tetang usaha, jam’iyyatul Bannat berusaha untuk:
(1) memperdalam pengatahuan agama Islam dan pengetahuan yang dianggap
perlu dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam di kalangan anggota dan
wanita Islam.
(2) Mengadakan da’wah dan memperluas syi’ar Islam dan mendidik anggota
unuk mengamalkan, serta member teladan kepada umum terutama pemudi yang
tidak faham tentang apa dan bagaimana hidup secara orang Islam dalam
penghidpan sehari-hari. (3) Mengusahakan terbentuknya cabang-cabang di
seluruh Indonesia. (4) Menjalankan usaha lain yang dibenarkan oleh Islam
. pasal 5 “Anggaran Dasar Djam’ijjatul Bannat” itu dijabarkan dalam
lima program kerja yang meliputi organisasi, pendidikan, penerangan,
social, dan keuangan.
Dalam bidang organisasi terdapat enam program kerja, yaitu: (1)
Meyempurnakan susunan pimpinan mulai pusat sampai ranting. (2)
Memperbanyak anggota/membentuk cabang. (3) Mengadakan registrasi
anggota. (4) Menyempurnakan administrasi dari Pusat sampai Ranting. (5)
Menyempurnakan bahagian-bahagian dengan usahanya. (6) Peninjauan dari PP
ke cabang.
Dalam bidang pendidikan terdapat lima program kerja, yaitu: (1)
Memelihara anggota dengan mengadakan tabligh-tabligh, kursus-kursus dan
pertemuan-pertemuan. (2) Menyelenggarakan pendidikan keagamaan,
keibuan/kewanitaan. (3) Mengusahakan agar terjelma guru-guru Taman
Kanak-Kanak yang berjiwa Islam dan berdirinya sekolah Taman Kanak-Kanak
di tiap cabang. (4) Membuat petunjuk/tutunan organisasi/ administrasi.
(5) Mengadakan latihan/kader di tiap-tiap cabang.
Dalam bidang penerangan hanya ada satu program kerja yaitu mengadakan
kader penerangan/muballighat ntuk mengadakan da’wah dan memperluas syiar
Islam. Dalam bidang social terdapat dua program kerja, yaitu:
(1) Mengadakan/ mengusahakan kelancaran ekonomi yang sederhana bagi anggota.
(2) Mengadakan usaha social bersama-sama dengan badan social. Sementara
dalam bidang keuangan terdapat dua program, yaitu: (1) Memperbanyak
anggota pnyokong yang terdiri dari ibu/bapak pecinta Jam’iyyatul Bannat.
(2) Mengusahakan agar tiap-tiap cabang menepati kewajiban keuangannya
kepada pucuk pimpinan.
Susunan pengurus Pimpinan Pusat Jam’iyyatul Bannat yang disahkan tahun
1957 adalah Aminah D. Sjihab (ketua umam), Nur Asikin Jahja (keua I),
Malicha Iswandi (ketua II), Permasih Hassan (sekretaris I), Mumun
(sekretaris II), Malicha Iswandi (keuangan I), Jojoh Rokajah (keuangan
II), Nur Asikin Jahja (penerangan), Rokajah Syarief (pendidikan),
Masfiroh (social/ekonomi), dan para pembantu antara lain: Sa’dijah,
Sofiah, Lathifah Abdurrachman, Aminah Z., Farida A., dan Ajuning.
Setelah masa kpemimpinan Ibu Aminah D. Sjihab (1957-1962), selanjutnya
kepemimpinan Jam’iyyatul Bannat dipegag oleh Ibu Asikin Jahja
(1962-1967), Ibu Lathifah Dahlan, BA. (1967-1981), Ibu Nung Nuriyah
Sudibdja (1981-1990), Ibu Ai Maryamah (1990-1995).
Pada Muktamar ke-6, bertepatan dengan Muktamar Persis ke XI di Jakarta
tanggal 2-4 September 1995, Jam’iyyatul Bannat mengadakan perubahan nama
menjadi Pemdi Persis, dengan ketua umumnya yang terpilih adalah Hafifah
Rahmi Puspitaningsih (1995-2000). Seperangkat program kerja disusun,
wajah-wajah aktivis baru pun mewarnai awal aktivtas Pemudi Persis ini.
Dengan latar belakang pendidikan yang beragam, InsyaAllah Pemudi Persis
dapat melakukan aktivitas sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
jaman.
Jam’iyyatul Bannat, dalam mengemban misi jihadnya, menghadapi berbagai
kendala, antara lain karena kesibukan rumah tangga, mengurus anak, ata
mengikuti suaminya ke berbagai tempat, menyebabkan seperangkat program
kerja tidak terlaksana dengan baik. Periode 1957-1967 di masa
kepemimpinan Ibu Aminah D. Sjihab dan Ibu Asikin Yahya, aktivitas
Jam’iyyatul Bannat lebih ditekankan pada pendidikan dan dakwah. Di
samping itu, menjalin kerjasama dengan Pemuda Persis, misalnya, ketika
Pemuda Persis menidirikn kepanduan (pramuka) Syubbanul Yaum 1 April
1954, Jam’iyyatul Bannat yang baru berdiri 28 Februari 1954 membantu
keperluan pandu Pemuda Persis dengan membuat berbagai perlengkapan
kepanduan seperti em-blim, atribut, dan berbagai perlengkapan lainnya.
Beberapa kegiatan Jam’iyyatul Bannat periode 1967-1981 di masa
kepemimpinan Ibu Lathifah Dahlan antara lain; (1) menyelenggarakan
pengajian rutin/bulanan setiap jumak ke-2 di Gedung Persistri Jalan
Kalipah Apo Bandung; (2) menghadiri dan memberikan ceramah triwulan di
cabang-cabang; (3) ikut serta dalam pengajian-pengajian yang
diselenggarakan Persistri; (4) mengikuti kegiatan Tamhiedul Muballighat;
(5) memberikan pelajaran di madrasah-madrasah dan ibu-ibu di
lingkungannya; (6) mengisi siaran Mimbar Islam di radio-radio dan siaran
“Bina Mentalita” di radio Dwikarya Bandung; (7) menyebarluaskan majalah
dan buku-buku terbitan Persis, dan serangkaian aktivitas keagamaan
lainnya.
Selama periode 1967-1981 tercatat satu bentuk kegiatan yang cukup besar
dengan nama kegiatan “Tazwiedu Fatayatil Qur’an” yang diselenggarakan
tanggal 1-2 Maret 1969 di Bandung dengan tujuan membimbing anggota dari
Pusat Pimpinan hingga ke cabang-cabang dalam berorganisasi dan
berdakwah, yang juga merupakan sarana pembinaan/kaderisasi pimpinan
Jam’iyyatul Bannat.
Aktivitas Jamiyyatul Bannat di masa kepemimpinan Ibu Lathifah Dahlan
dilanjutkan oleh Ibu Nung Nuriyah Sudibdja (1981-1990) dan Ibu Ai
Maryamah (1990-1995) dengan penambahan berbagai kegiatan. Dalam bidang
pendidikan, banyak aktivis Jam’iyyatul Bannat yang mengabdikan dirinya
menjadi guru di Taman Kanak-Kanak (Raudhatul Atfal) dan
pesantren-pesantren, dan mengadakan berbagai pendidikan dan latihan
keorganisasian.
Dalam bidang tabligh, pengajian rutin setiap jumat ke-2 tetap
dipertahankan, disamping pengajian rutin ke berbagai cabang. Sementara
dalam bidang social/kesejahteraan PP jam’iyyatu Bannat telah berani
membentuk Ummu Dhu’afa, meski belum berkembang, yang bertujuan membantu
anak-anak pesantren yang memerlukan bantuan dengan cara mengkoordinir
orang tua asuh bekerjasama dengan Pesantren Persis No. 1 Bandung.
# Dari berbagai Sumber
Rabu, 27 Maret 2013
Peradaban Lembah Sungai Gangga (India Kuno)
Peradaban Lembah Sungai Gangga
(India Kuno)
1. Pusat Peradaban
Pusat peradaban Lembah Sungai Gangga
terletak antara Pegunungan Himalaya dan Pegunungan Windya-Kedna.
Pendukung peradaban Lembah Sungai
Gangga adalah bangsa Arya yang termasuk bangsa Indo-Jerman. Mereka datang dari
daerah Kaukasus dan menyebar ke arah timur. Bangsa Arya memasuki wilayah India
antara tahun 200-1500 SM, melalui Celah Kaibar di Pegunungan Hirnalaya.
Bangsa Arya adalah bangsa peternak
dengan kehidupan yang terus mengembara. Setelah berhasil mengalahkan bangsa
Dravida di Lembah Sungai Indus dan menguasai daerah yang subur, akhirnya mereka
hidup menetap.
Selanjutnya, mereka menduduki Lembah
Sungai Gangga dan terus mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaan campuran antara
kebudayaan bangsa Arya dengan bangsa Dravida dikenal dengan sebutan kebudayaan
Hindu.
2. Pemerintahan
Perkembangan sistem pemerintahan di
Lembah Sungai Gangga merupakan kelanjutan ~an sistem pemerintahan masyarakat di
daerah Lembah Sungai Indus. Runtuhnya Kerajaan Maurya menjadikan keadaan
kerajaan menjadi kacau dikarenakan peperangan antara kerajaan-kerajaan kecil
yang ingin berkuasa. Keadaan yang kacau, mulai aman kembali setelah munculnya
kerajaan-kerajaan baru. Kerajaan-kerajaan tersebut di antaranya Kerajaan Gupta
dan Kerajaan Harsha.
Kerajaan Gupta
Pendiri Kerajaan Gupta adalah Raja
Candragupta I dengan pusatnya di Lembah Sungai Gangga. Pada masa pemerintahan
Raja Candragupta I, agama Hindu dijadikan agama negara, namun agama Buddha
masih tetap dapat berkembang.
Masa kejayaan Kerajaan Gupta terjadi
pada masa pemerintahan Samudragupta (Cucu Candragupta 1). Pada masa
pemerintahannya Lembah Sungai Gangga dan Lembah Sungai Indus berhasil
dikuasainya dan Kota Ayodhia ditetapkan sebagai ibukota kerajaan.
Pengganti Raja Samudragupta adalah
Candragupta II, yang dikenal sebagai Wikramaditiya. Ia juga bergama Hindu,
namun tidak memandang rendah dan mempersulit perkembangan agama Budha. Bahkan
pada masa pemerintahannya berdiri perguruan tinggi agama Buddha di Nalanda. Di
bawah pemerintahan Candragupta II kehidupan rakyat semakin makmur dan
sejahtera.. Kesusastraan mengalami masa gemilang. Pujangga yang terkenal pada
masa ini adalah pujangga Kalidasa dengan karangannya berjudul
"Syakuntala". Perkembangan seni patung mencapai kemajuan yang juga
pesat. Hal ini terlihat dari pahatan-pahatan dan patung-patung terkenal
menghiasi kuil-kuil di Syanta.
Dalam-perkembangannya Kerajaan Gupta
mengalami kemunduran setelah meninggalnya Raja Candragupta II. India mengalami
masa kegelapan selama kurang lebih dua abad.
Kerajaan Harsha
Setelah mengalami masa kegelapan,
baru pada abad ke-7 M muncul Kerajaan Harsha dengan rajanya Harshawardana. Ibu
kota Kerajaan Harsha adalah Kanay. Harshawardana merupakan seorang pujangga
besar. Pada masa pemerintahannya kesusastraan dan pendidikan berkembang dan
pesat. Salah satu pujangga yang terkenal pada masa kerajaan Harshawardana
adalah pujangga Bana dengan karyanya berjudul "Harshacarita".
Raja Harsha pada awalnya memeluk
agama Hindu, tetapi kemudian memeluk agama Buddha. Di tepi Sungai Gangga banyak
dibangun wihara dan stupa, serta dibangun tempattempat penginapan dan fasilitas
kesehatan. Candi-candi yang rusak diperbaiki dan membangun candi-candi baru.
Setelah masa pemerintahan Raja Harshawardana hingga abad ke-1 1 M tidak pernah
diketahui adanya raja-raja yang pernah berkuasa di Harsha.
Kebudayaan Lembah Sungai Gangga
Di Lembah Sungai Gangga inilah
kebudayaan Hindu berkembang, baik di wilayah India maupun di luar India.
Masyarakat Hindu memuja banyak dewa (Politeisme). Dewa-dewa tersebut, antara
lain, Dewa Bayu (Dewa Angin), Dewa Baruna (Dewa Laut), Dewa Agni (Dewa Api),
dan lain sebagainya. Dalam agama Hindu dikenal dengan sistem kasta, yaitu
pembagian kelas sosial berdasarkan warna dan kewajiban sosial. Dalam
perkembangan selanjutnya, sistem kasta inilah yang menyebabkan munculnya agama
Buddha. Hal ini dipelopori oleh Sidharta Gautama.
Agama Buddha mulai menyebar ke
masyarakat India setelah Sidharta Gautama mencapai tahap menjadi Sang Buddha.
Agama Buddha terbagi menjadi dua aliran, yaitu Buddha Mahayana dan Buddha
Hinayana. Peradaban Sungai Gangga meninggalkan beberapa bentuk kebudayaan yang
tinggi seperti kesusastraan, seni pahat, dan seni patung. Peradaban dari lembah
sungai ini kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di Asia termasuk di
Indonesia.
Peradaban
Lembah Sungai Indus- Jazirah India terletak di Asia Selatan. India juga disebut
Anak Benua Asia karena letaknya seolah-olah terpisah dari daratan Asia. Di
utara India terdapat Pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi. Pegunungan
Himalaya menjadi pemisah antara India dan daerah lain di Asia. Di bagian Barat
pegunungan Himalaya terdapat celah yang disebut Celah Khaibar. Di India
terdapat berbagai bahasa, di antaranya yang terpenting yaitu sebagai berikut.
bahasa
Munda atau bahasa Kolari. Bahasa ini terdapat di Kashmir.
Bahasa
Dravida, mempunyai 14 macam, seperti Tamil, Telugu, Kinare, Malayam, Gondhi,
dan Berahui.
Bahasa
Indo-Jerman, mempunyai bahasa daerah sembilan belas macam, salah satunya adalah
bahasa Sanskerta dan Prakreta.
Bahasa
Hindustani. Bahasa ini muncul di Delhi dan merupakan percampuran antara bahasa
Arab, Parsi, dan Sanskerta. Bahasa ini disebut pula bahasa Urdu.
Mempelajari
bahasa Sanskerta merupakan salah satu upaya untuk mengetahui perjalanan sejarah
bangsa Indonesia pada masa lalu. Hal ini juga ditujukan untuk mengetahui sejauh
mana pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha pada masyarakat Indonesia, di luar
pengaruhnya pada politik, ekonomi, dan pemerintahan. William Jones berpendapat
bahwa bahasa Sanskerta merupakan bahasa yang serumpun dengan bahasa Parsi,
Germania, dan Kelt. Studi tertua tentang India, membawa kita ke India pada masa
interglasial II, yaitu sekitar 400.000 SM hingga 200.000 SM. Hal ini
berdasarkan hasil penelitian terhadap jenis bebatuan pada lapisan tanah di
kawasan India. Dari penelitian ini, terungkaplah sebuah fakta mengenai sejarah
manusia yang mendiami kawasan itu setelah melihat artefak-artefak peninggalan
purba di Lembah Indus. Para ahli lalu menyimpulkan bahwa di kawasan ini pernah
berlangsung sebuah peradaban Lembah Sungai Indus, yang terkenal dengan nama
peradaban Mohenjodaro-Harappa, yang berkembang pada 2300 SM. Melalui Celah
Khaibar, bangsa India berhubungan dengan daerah-daerah lain di sebelah
utaranya. Daerah Lembah Sungai Indus terletak di
Barat
Laut India. Sungai Indus berasal dari mata air di Tibet, mengalir melalui
Pegunungan Himalaya. Setelah menyatu dengan beberapa aliran sungai yang lain,
akhirnya bermuara ke Laut Arab. Panjang Sungai Indus kurang lebih 2900
kilometer. Apabila Anda memperhatikan Sungai Indus pada peta dewasa ini, maka
sungai tersebut mengaliri tiga wilayah yaitu Kashmir, India, dan Pakistan. Sisa
peradaban Lembah Sungai Indus ditemukan peninggalannya di dua kota, yaitu
Mohenjodaro dan Harappa. Penghuninya dikenal dengan suku bangsa Dravida dengan
ciri-ciri tubuh pendek, hidung pesek, rambut keriting hitam, dan kulit berwarna
hitam.
Penemuan
arkeologis di Mohenjodaro-Harappa mulai terjadi ketika para pekerja sedang
memasang rel kereta api dari Karachi ke Punjab pada pertengahan abad ke-19.
Pada waktu itu, ditemukan benda-benda kuno yang sangat menarik perhatian Jenderal
Cunningham, yang kemudian diangkat sebagai Direktur Jendral Arkeologi di
India. Sejak saat itu, maka dimulailah penggalian-penggalian secara lebih
intensif di daerah Mohenjodaro- Harappa.
1.
Keadaan sosial budaya Lembah Sungai Indus
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu semua belum terungkap.
Penggalian-penggalian di situs Mohenjodaro-Harappa, mengungkapkan bahwa pendukung peradaban ini telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi. Dari bukti-bukti peninggalan yang didapat, kita memperoleh gambaran bahwa penduduk Mohenjodaro-Harappa telah mengenal adat istiadat dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakatnya. Misalnya, banyak ditemukan amulet-amulet atau benda-benda kecil sebagai azimat yang berlubang-lubang, diasumsikan digunakan sebagai kalung. Lalu, ditemukan juga materai yang terbuat dari tanah liat, yang kebanyakan memuat tulisan-tulisan pendek dalam huruf piktograf, yaitu tulisan yang bentuknya seperti gambar. Sayangnya, huruf-huruf ini sampai sekarang belum bisa dibaca, sehingga misteri yang ada di balik itu semua belum terungkap.
Benda-benda
lain yang ditemukan di kawasan Mohenjodaro-Harappa adalah bermacam-macam periuk
belanga yang sudah dibuat dengan teknik tuang yang tinggi. Selain itu ditemukan
juga benda-benda yang terbuat dari porselin Tiongkok yang diduga digunakan
sebagai gelang, patung-patung kecil, dan lain-lain. Dari hasil penggalian
benda, dapat diasumsikan bahwa teknik menuang logam yang telah mereka lakukan
sudah tinggi. Mereka dapat membuat piala-piala emas. Mereka dapat membuat
piala-piala emas, perak, timah hitam, tembaga, maupun perunggu. Penduduk
Mohenjodaro-Harappa sudah mampu membuat perkakas hidup berupa benda tajam yang
dibuat dengan baik. Namun, senjata seperti tombak, ujung anak panah, ataupun
pedang, sangat rendah mutu buatannya. Hal ini mengindikasikan bahwa penduduk
Mohenjodaro-Harappa merupakan orang-orang yang cinta damai, atau dengan kata
lain tidak suka berperang. Pada masa ini pula, diduga masyarakat
Mohenjodaro-Harappa telah mengenal hiburan berupa tari-tarian yang diiringi
genderang. Di tempat penggalian ini juga ditemukan alat-alat permainan berupa
papan bertanda serta kepingan-kepingan lain. Masyarakat Mohenjodaro-Harappa
telah mempunyai tata kota yang sangat baik. Masyarakat pendukung kebudayaan ini
juga dikenal mempunyai sistem sanitasi yang amat baik. Mereka mempunyai tempat
pemandian umum, yang dilengkapi dengan saluran air dan tangki air di atas
perbentengan jalan-jalan utama.
2.
Perkembangan kepercayaan Lembah Sungai Indus
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
Masyarakat Lembah Sungai Indus telah mengenal cara penguburan jenazah, tetapi, hal ini disesuaikan dengan tradisi suku bangsanya. Di Mohenjodaro contohnya, masyarakatnya melakukan pembakaran jenazah. Asumsi ini didapat karena pada letak penggalian Kota Mohenjodaro tidak terdapat kuburan. Jenazah yang sudah dibakar, lalu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam tempayan khusus. Namun ada kalanya, tulang-tulang yang tidak dibakar, disimpan di tempayan pula. Objek yang paling umum dipuja pada masa ini adalah tokoh “Mother Goddess”, yaitu tokoh semacam Ibu Pertiwi yang banyak dipuja orang di daerah Asia Kecil. Mother Goddess digambarkan pada banyak lukisan kecil pada periuk belanga, materai, dan jimat-jimat. Dewi-dewi yang lain nampaknya juga digambarkan dengan tokoh bertanduk, yang terpadu dengan pohon suci pipala. Ada juga seorang dewa yang bermuka 3 dan bertanduk. Lukisannya terdapat pada salah satu materai batu dengan sikap duduk dikelilingi binatang. Dugaan ini diperkuat dengan ditemukannya gambar lingga yang merupakan lambang Dewa Siwa. Namun, kita juga tidak dapat memastikan, apakah wujud pada materai tersebut menjadi objek pemujaan atau tidak. Meskipun demikian, dengan adanya bentuk hewan lembu jantan tersebut, pada masa kemudian, bentuk hewan seperti ini dikenal sebagai Nandi, yaitu hewan tunggangan Dewa Siwa.
3.
Politik dan pemerintahan Lembah Sungai Indus
Kondisi kehidupan perpolitikan pada masa transisi (pasca Harappa hingga masa Arya), tampaknya mulai terganggu dengan menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan Lembah Indus selama paruh kedua millenium II SM. Mungkin saja terjadi karena pendukung kebudayaan Indus itu musnah atau melarikan diri agar selamat ke tempat lain, sementara para penyerang tidak bermaksud untuk meneruskan tata pemerintahan yang lama. Hal ini bisa terjadi karena diasumsikan tingkat peradaban bangsa Arya yang masih dalam tahap mengembara, belum mampu melanjutkan kepemimpinan masyarakat Indus yang relatif lebih maju, dilihat dari dasar kualitas peninggalan kebudayaan yang mereka tinggalkan.
Kondisi kehidupan perpolitikan pada masa transisi (pasca Harappa hingga masa Arya), tampaknya mulai terganggu dengan menyusutnya penduduk yang tinggal di kawasan Lembah Indus selama paruh kedua millenium II SM. Mungkin saja terjadi karena pendukung kebudayaan Indus itu musnah atau melarikan diri agar selamat ke tempat lain, sementara para penyerang tidak bermaksud untuk meneruskan tata pemerintahan yang lama. Hal ini bisa terjadi karena diasumsikan tingkat peradaban bangsa Arya yang masih dalam tahap mengembara, belum mampu melanjutkan kepemimpinan masyarakat Indus yang relatif lebih maju, dilihat dari dasar kualitas peninggalan kebudayaan yang mereka tinggalkan.
4.
Faktor penyebab kemunduran Lembah Sungai Indus
Beberapa teori menyatakan bahwa jatuhnya peradaban Mohenjodaro- Harappa disebabkan karena adanya kekeringan yang diakibatkan oleh musim kering yang amat hebat serta lama. Atau mungkin juga disebabkan karena bencana alam berupa gempa bumi ataupun gunung meletus, mengingat letaknya yang berada di bawah kaki gunung. Wabah penyakit juga bisa dijadikan salah satu alasan punahnya peradaban Mohenjodaro-Harappa. Tetapi, satu hal yang amat memungkinkan menjadi penyebab runtuhnya peradaban Mohenjodaro-Harappa ialah adanya serangan dari luar. Diduga, serangan ini berasal dari bangsa Arya. Mereka menyerbu, lalu memusnahkan seluruh kebudayaan bangsa yang berbicara bahasa Dravida ini. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan pada kitab Weda. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa bangsa yang dikalahkan itu ialah Dasyu atau yang tidak berhidung. Dugaan tersebut didasarkan atas anggapan bahwa orang-orang yang mereka taklukkan adalah orang-orang yang tidak suka berperang. Hal ini bisa dilihat dari teknologi persenjataan yang kurang baik, misalnya dari kualitas ujung tombak maupun pedang mereka. Bukti-bukti yang lain adalah adanya kumpulan tulang belulang manusia yang terdiri atas anak-anak dan wanita yang berserakan di sebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat pemandian umum ataupun jalanan umum. Bentuk dan sikap fisik yang menggeliat, mengindikasikan adanya serangan, apalagi jika melihat adanya bagian tulang leher yang terbawa ke bagian kepala, ketika kepala itu terlepas dari tubuh. Sejak 1500 SM, peradaban Mohenjodaro-Harappa runtuh, tidak lama setelah bangsa Arya itu memasuki wilayah India lewat Iran. Sejak saat itu, dimulailah masa baru dalam perkembangan kebudayaan India di bagian utara.
Beberapa teori menyatakan bahwa jatuhnya peradaban Mohenjodaro- Harappa disebabkan karena adanya kekeringan yang diakibatkan oleh musim kering yang amat hebat serta lama. Atau mungkin juga disebabkan karena bencana alam berupa gempa bumi ataupun gunung meletus, mengingat letaknya yang berada di bawah kaki gunung. Wabah penyakit juga bisa dijadikan salah satu alasan punahnya peradaban Mohenjodaro-Harappa. Tetapi, satu hal yang amat memungkinkan menjadi penyebab runtuhnya peradaban Mohenjodaro-Harappa ialah adanya serangan dari luar. Diduga, serangan ini berasal dari bangsa Arya. Mereka menyerbu, lalu memusnahkan seluruh kebudayaan bangsa yang berbicara bahasa Dravida ini. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan pada kitab Weda. Di dalam kitab itu, disebutkan bahwa bangsa yang dikalahkan itu ialah Dasyu atau yang tidak berhidung. Dugaan tersebut didasarkan atas anggapan bahwa orang-orang yang mereka taklukkan adalah orang-orang yang tidak suka berperang. Hal ini bisa dilihat dari teknologi persenjataan yang kurang baik, misalnya dari kualitas ujung tombak maupun pedang mereka. Bukti-bukti yang lain adalah adanya kumpulan tulang belulang manusia yang terdiri atas anak-anak dan wanita yang berserakan di sebuah ruangan besar dan di tangga-tangga yang menuju tempat pemandian umum ataupun jalanan umum. Bentuk dan sikap fisik yang menggeliat, mengindikasikan adanya serangan, apalagi jika melihat adanya bagian tulang leher yang terbawa ke bagian kepala, ketika kepala itu terlepas dari tubuh. Sejak 1500 SM, peradaban Mohenjodaro-Harappa runtuh, tidak lama setelah bangsa Arya itu memasuki wilayah India lewat Iran. Sejak saat itu, dimulailah masa baru dalam perkembangan kebudayaan India di bagian utara.
5.
Masa Arya
a. Perkembangan agama Hindu dan Kerajaan Gupta
Pada tahun 1500 SM, bangsa Arya yang berasal dari Asia Tengah masuk ke wilayah India melalui Celah Khaibar. Kedatangan mereka mendesak bangsa Dravida. Bangsa Arya yang merupakan bangsa penggembala berkulit putih dan badan tinggi besar berperang beberapa lamanya dengan bangsa Dravida. Peperangan tersebut mengakibatkan bangsa Dravida pindah ke selatan, namun ada juga yang tetap bertahan dan melakukan interaksi dengan bangsa pendatang tersebut. Interaksi yang terus-menerus itu menimbulkan asimilasi kebudayaan, yaitu lahirnya kebudayaan Hindu yang merupakan percampuran kebudayaan Dravida dan Arya. Pada perkembangannya, agama Hindu mengalami beberapa kali perubahan yaitu sebagai berikut.
Pada tahun 1500 SM, bangsa Arya yang berasal dari Asia Tengah masuk ke wilayah India melalui Celah Khaibar. Kedatangan mereka mendesak bangsa Dravida. Bangsa Arya yang merupakan bangsa penggembala berkulit putih dan badan tinggi besar berperang beberapa lamanya dengan bangsa Dravida. Peperangan tersebut mengakibatkan bangsa Dravida pindah ke selatan, namun ada juga yang tetap bertahan dan melakukan interaksi dengan bangsa pendatang tersebut. Interaksi yang terus-menerus itu menimbulkan asimilasi kebudayaan, yaitu lahirnya kebudayaan Hindu yang merupakan percampuran kebudayaan Dravida dan Arya. Pada perkembangannya, agama Hindu mengalami beberapa kali perubahan yaitu sebagai berikut.
1)
Fase Weda
Pada masa ini masyarakat Hindu mendasarkan hidupnya agar sesuai dengan ajaran Weda. Kitab Weda terdiri 4 kitab yaitu: Regweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Regweda merupakan kitab yang berisi syair puji-pujian pada dewa. Samaweda berisi nyanyian-nyayian untuk upacara-upacara keagamaan. Yajurweda berisi doa-doa puisi dan prosa. Adapun Atharwaweda berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit, ilmu sihir, dan doa-doa untuk peperangan. Kitab-kitab tersebut merupakan pegangan bagi masyarakat Hindu. Namun, pada umumnya mereka hanya mempelajari tiga kitab saja, karena mereka menilai Atharwaweda memiliki kecenderungan kepada ilmu sihir. Tidak semua kalangan Hindu menolak Atharwaweda. Ada sebagian kalangan, terutama para Brahmana, yang mempelajarinya dengan tujuan untuk menangkal ilmu sihir. Pada fase Weda umat Hindu menyembah banyak dewa (politheisme), salah satu dewa terbesar adalah Dewa Indra, Ganesa.
Pada masa ini masyarakat Hindu mendasarkan hidupnya agar sesuai dengan ajaran Weda. Kitab Weda terdiri 4 kitab yaitu: Regweda, Samaweda, Yajurweda, dan Atharwaweda. Regweda merupakan kitab yang berisi syair puji-pujian pada dewa. Samaweda berisi nyanyian-nyayian untuk upacara-upacara keagamaan. Yajurweda berisi doa-doa puisi dan prosa. Adapun Atharwaweda berisi doa-doa untuk penyembuhan penyakit, ilmu sihir, dan doa-doa untuk peperangan. Kitab-kitab tersebut merupakan pegangan bagi masyarakat Hindu. Namun, pada umumnya mereka hanya mempelajari tiga kitab saja, karena mereka menilai Atharwaweda memiliki kecenderungan kepada ilmu sihir. Tidak semua kalangan Hindu menolak Atharwaweda. Ada sebagian kalangan, terutama para Brahmana, yang mempelajarinya dengan tujuan untuk menangkal ilmu sihir. Pada fase Weda umat Hindu menyembah banyak dewa (politheisme), salah satu dewa terbesar adalah Dewa Indra, Ganesa.
2)
Fase brahmana
Pada fase ini kaum Brahmana menjadi kelas tersendiri dalam masyarakat Hindu yang memiliki keistimewaan yaitu kedudukan yang tinggi. Memang, dalam sistem kasta, kaum Brahmana mendapat posisi tertinggi, yang disusul oleh kaum Ksatria yang terdiri atas raja dan para bangsawan serta prajurit. Kasta ketiga yaitu Waisya yang terdiri atas para pedagang, dan keempat adalah kasta Sudra. Kaum Brahmana mendapat tempat yang tertinggi dalam agama Hindu disebabkan kemampuan mereka dalam menerjemahkan dan memahami kitab Weda. Pada fase ini banyak sekali diadakan upacara-upacara yang wajib dihadiri dan dipimpin oleh kaum Brahmana. Dengan demikian, kedudukan Brahmana menjadi teramat penting.
Pada fase ini kaum Brahmana menjadi kelas tersendiri dalam masyarakat Hindu yang memiliki keistimewaan yaitu kedudukan yang tinggi. Memang, dalam sistem kasta, kaum Brahmana mendapat posisi tertinggi, yang disusul oleh kaum Ksatria yang terdiri atas raja dan para bangsawan serta prajurit. Kasta ketiga yaitu Waisya yang terdiri atas para pedagang, dan keempat adalah kasta Sudra. Kaum Brahmana mendapat tempat yang tertinggi dalam agama Hindu disebabkan kemampuan mereka dalam menerjemahkan dan memahami kitab Weda. Pada fase ini banyak sekali diadakan upacara-upacara yang wajib dihadiri dan dipimpin oleh kaum Brahmana. Dengan demikian, kedudukan Brahmana menjadi teramat penting.
3)
Fase uphanisad
Pada fase ini terjadi pemberontakan terhadap kaum Brahmana, baik yang dilakukan oleh Ksatria (melahirkan agama Buddha dan Jaina) maupun yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Pada masa ini berkembang paham atheisme, masyarakat berbondong-bondong meninggalkan agama Hindu.
Pada fase ini terjadi pemberontakan terhadap kaum Brahmana, baik yang dilakukan oleh Ksatria (melahirkan agama Buddha dan Jaina) maupun yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan. Pada masa ini berkembang paham atheisme, masyarakat berbondong-bondong meninggalkan agama Hindu.
4)
Fase Hindu Baru
Kaum Brahmana kembali berusaha memperbaiki ajaran Hindu yang mulai ditinggalkan pengikutnya, maka lahirlah Agama Hindu Baru. Pada masa ini muncul tiga dewa besar (Trimurti) yaitu Siwa (dewa perusak), Wisnu (dewa pemelihara), dan Brahma (dewa pencipta). Ajaran Hindu berkeyakinan tentang adanya reinkarnasi, yaitu suatu pemahaman bahwa hidup ini akan terus berulang jika manusia tidak dapat melepaskan diri dari nafsu. Untuk lepas dari lingkaran Samsara tersebut, maka penganut Hindu harus menyesuaikan hidupnya sesuai Weda dengan melaksanakan dharma sesuai tuntunan kaum Brahmana. Pada masa itu bangsa Arya mendirikan Kerajaan Gupta. Kerajaan ini diperintah oleh raja antara lain: Chandragupta, Samudra Gupta, dan Candragupta
Kaum Brahmana kembali berusaha memperbaiki ajaran Hindu yang mulai ditinggalkan pengikutnya, maka lahirlah Agama Hindu Baru. Pada masa ini muncul tiga dewa besar (Trimurti) yaitu Siwa (dewa perusak), Wisnu (dewa pemelihara), dan Brahma (dewa pencipta). Ajaran Hindu berkeyakinan tentang adanya reinkarnasi, yaitu suatu pemahaman bahwa hidup ini akan terus berulang jika manusia tidak dapat melepaskan diri dari nafsu. Untuk lepas dari lingkaran Samsara tersebut, maka penganut Hindu harus menyesuaikan hidupnya sesuai Weda dengan melaksanakan dharma sesuai tuntunan kaum Brahmana. Pada masa itu bangsa Arya mendirikan Kerajaan Gupta. Kerajaan ini diperintah oleh raja antara lain: Chandragupta, Samudra Gupta, dan Candragupta
b. Perkembangan agama Buddha
Tokoh pendiri agama Buddha adalah Gautama Sakyamuni. Nama ini mengandung arti orang bijak dari Sakya, ia diperkirakan lahir pada 563 SM. Ia adalah putra seorang kepala daerah yang bernama Suddhodana di Kapilavastu, perbatasan Nepal. Ketika umurnya sudah mencukupi, Gautama menikah dengan kemenakannya yang bernama Yasodhara. Selang beberapa waktu, Yasodhara melahirkan seorang anak yang bernama Rahula. Pada umur 29 tahun, Gautama memutuskan untuk meninggalkan keduniawian, meninggalkan istana dan mengembara dengan jubah kuning. Sampai pada suatu waktu, ketika Gautama sedang duduk di bawah sebatang pohon pipala di Bodhi Gaya, ia menerima penerangan atau Bodhi. Di tempat itu kemudian dibangun candi yang bernama Mahabodhi.
Tokoh pendiri agama Buddha adalah Gautama Sakyamuni. Nama ini mengandung arti orang bijak dari Sakya, ia diperkirakan lahir pada 563 SM. Ia adalah putra seorang kepala daerah yang bernama Suddhodana di Kapilavastu, perbatasan Nepal. Ketika umurnya sudah mencukupi, Gautama menikah dengan kemenakannya yang bernama Yasodhara. Selang beberapa waktu, Yasodhara melahirkan seorang anak yang bernama Rahula. Pada umur 29 tahun, Gautama memutuskan untuk meninggalkan keduniawian, meninggalkan istana dan mengembara dengan jubah kuning. Sampai pada suatu waktu, ketika Gautama sedang duduk di bawah sebatang pohon pipala di Bodhi Gaya, ia menerima penerangan atau Bodhi. Di tempat itu kemudian dibangun candi yang bernama Mahabodhi.
Pengaruh
Peradaban Lembah Sungai Indus pada Masyarakat Indonesia
Beberapa
pengaruh peradaban Lembah Sungai Indus terhadap kebudayaan dan seluruh aspek
kehidupan bangsa Indonesia antara lain sebagai berikut.
Pembakaran
dupa dan kemenyan ketika akan melakukan upacara.
Keyakinan
tentang zimat atau benda yang mempunyai kesaktian tertentu.
Keyakinan
pada batara kala, upacara ruatan.
Pengagungan
pada cerita Ramayana dan Mahabharata dalam cerita wayang
Upacara
wedalan (hari lahir), sekaten, penanggalan Hindu, hari pasaran, perhitungan
wuku, dan upacara-upacara setelah kematian seseorang.
Banyaknya
kata-kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Sanskerta dan Pali.
Olahraga
pernapasan, yaitu yoga.
Islam
yang berkembang di Indonesia berasal dan dipengaruhi budaya India. Hal itu
dibuktikan dengan melihat hal-hal berikut:
1)
batu kubur atau nisan Sultan Malik As Saleh terbuat dari batu marmer yang
memiliki corak yang sama dengan yang ada di India pada abad ke-13, relief yang
terdapat dalam makam Sultan Malik As Saleh memiliki corak yang sama dengan yang
ada di kuil Cambay India, serta 3) adanya unsur-unsur Islam yang menunjukkan
persamaan dengan India, salah satunya cerita atau hikayat tentang nabi dan
pengikutnya sangat jauh dari cerita-cerita Arab, tetapi malah lebih mirip
dengan cerita dari India.
Sejarah Persis
Sejarah Persis
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok
tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam
dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah,
berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus
ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang
khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar
1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi
nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk
mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita
organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan
suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran
Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang
(aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah
hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama
al-jama’ah”.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani
Publishing, Oktober 2009, hal. 470-483) menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam
(1894-1952 M) dan Haji Yunus di Bandung pada 30 Muharram 1342 H/Rabu Legi, 12
September 1923 M. didirikan organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis)
untuk menyatukan pemahaman keislaman di masyarakat Indonesia dengan berdasarkan
Al-Quran dan As-Sunnah.
Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, ini
tampil berdakwah sekaligus menentang segala praktik-praktik keagamaan yang
berasal dari luar ajaran Islam.
Selain berupaya memurnikan akidah umat Islam, juga—menurut Ahmad
Mansur—menentang imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan
kolonial Belanda yang bercokol di Indonesia.
“Para ulama aktivis organisasi ini, semuanya berupaya
membangkitkan kesadaran beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara serta
menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Pada umumnya, para aktivis menggunakan
dana pribadi dalam aktivitas gerakannya,” tulis Ahmad Mansur.
Dalam bukunya, Ahmad Mansur Suryanegara juga menguraikan tentang
biografi A.Hassan sejak kelahiran sampai mendirikan Persis di Bandung dan
Bangil. Bahkan, disebutkan bahwa A.Hasan merupakan tokoh yang menolak asas
gerakan kebangsaan atau nasionalisme yang sedang diperjuangkan Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Muslimin
Indonesia (Permi), dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) (baca hal.478).
Dakwah yang dilakukan A.Hassan melalui Persis dengan gerakan
pemurnian mendapat tantangan dari masyarakat, bahkan berdebat dengan Mama
Adjengan Gedong Pesantren Sukamiskin dan KH.Hidayat dengan latar belakang
budaya Sunda.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham
Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya
dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi,
tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah
dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya
adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai
kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis
pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang
berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak)
hingga perguruan tinggi.
Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah
antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah
Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939),
Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda
(Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis.
Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah
menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah,
baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang
Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah
pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang
menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan
menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi
Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri
menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang
proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan.
Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system
organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi
tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua
diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960),
K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll.
Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum
stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah
demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada
pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis
(Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa
Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang
dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan
eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti
aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah,
Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif
Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan
proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom
kepemudaannya. (Pemuda Persis).
Pada masa ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada
awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat
gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang
bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan
Sunnah.
Pada masa ini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan
umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis
tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas
kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama
pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Di bawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amienullah, anggota simpatisa
Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari tiga juta orang yang
tersebar di 14 provinsi dengan 7 pimpinan wilayah, 33 Pimpinan Daerah dan 258
Pimpinan Cabang.
Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri
(Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis,
Himpunan Mahasiswi Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek-aspek
lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh.
Tetapi aktifitas Persis meluas ke berbagai bidang garapan yang
dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar,
menengah hingga perguruan tinggi), dakwah, bimbingan haji, perzakatan, social
ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunan-pembangunan
masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negeri,
menyelenggarakan berbagai seminar, pelatihan dan diskusi pengkajian Islam.
Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam
pengambilan keputusan hokum Islam di kalangan Persis serta Dewan Tafkir semakin
ditingkatkan aktiftasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai masalah
hokum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian social semakin banyak dan
beragam.
Langganan:
Postingan (Atom)