Laman

Ahlan Wasahlan

Selamat Datang di Gerbang Ilmu Duniaku
Semoga bermanfaat ^^

Sabtu, 01 Maret 2014

Kutemukan Jawab-Nya




Wahai akhii..
Aku bermimpi di dalam tidurku yang lelap, bersama seluruh penantianku yang panjang. Aku menikmati hari yang indah bersamamu di taman syurga, bersemai sebuah keluarga dengan atap cinta Rabb-Nya, aku bersandar di bahumu menguraikan butiran air mata, betapa bahagia aku berada di sampingmu, dapat menjadi ibu bagi anak-anakmu, menjadi pendamping dakwahmu. Berdua melangkah menguatkan kilauan dakwah Islam.
Aku terbesit ingatan saat mengharapkanmu dalam kesendirian, menyelipkanmu dalam do’a-do’aku pada Illahi, mengalirkan air mata saat kau ucap sebuah janji bahagia di hadapan Allah, kau genggam erat tanganku, tatap indah wajahku, kau tersenyum malu, aku pun tertunduk seraya tersipu.  Hari itu menjadi saksi simpul sebuah tali yang baru, berlayar mengarungi bahtera rumah tangga, kau dan aku, kini tak lagi ada, kau dan aku kini hanyalah sebuah kata sederhana, “kita”.
Akhii..
Namun sekejap aku terbangun dari mimpi indah itu, sekelebat saja dan hilang semua memori indah yang terjadi begitu lama dalam kembang tidurku. Aku menangis, tak kuasa aku menahan rasa kesedihan ini. Tuhan.. sudah sejauh inikah aku melangkah? apakah aku telah terperangkap dalam sel yang ku ciptakan sendiri? Tuhan.. mungkinkah aku telah jauh darimu karena pengharapanku pada lelaki yang belum tentu menjadi imamku?
Aku tertunduk malu di dalam heningnya malam yang dingin, berharap pada sesosok pangeran yang begitu sempurna, yang akan meminangku untuk jalinan suci berdua. Aku bertanya pada angin mamiri yang berhembus, aku berteriak di antara getaran rasa yang hebat. Sudahkah aku pantas untuk berada di sampingnya? Jika memang dia adalah ikhwan yang ku sadari hadirnya begitu memikat dan sempurna. Sementara diriku tak sebanding dengan keshalehanya.
Rabb..
Inikah jawabanMu atas tanyaku selama ini, saat aku gundah dan begitu rapuh, berharap Kau dekatkan imamku di balik tirai yang tipis? Menghadirkan dirinya di dalam setiap permohonanku? Menjadikan apa yang ada pada dirinya sebagai impian dalam hidupku?
Rabb..
Mungkinkah ini jawabanMu?
Sungguh apakah aku telah pantas untuk semua harapanku? harapanku untuk dapatkan imam yang tersinari dengan iman dan taqwa, yang selalu menutamakan cinta terhadapMu dari pada apapun yang ada di antara ruang dan waktu ini?
Rabb, mungkin ini memang jawabMu, Kau ajarkan aku bagaimana memilih, memilih hanya satu langkah yang harus ku ambil di dalam penantianku ini, yakni terus berusaha untuk “Memantaskan Diri”, karena janjiMu takan pernah terdustakan, “imamku adalah cerminan dari apa yang ada pada diriku”.

Rabu, 19 Februari 2014

Cerpen Inspiratif Islam



KARENA SATU TANGAN, KARENA SATU KAKI
 karya : Siti Nur Fatimah
Alam yang indah panorama bumi ini, Bandung menjadi tempat yang ku singgahi setelah ayah harus berpindah tempat kerja dari Jakarta. Yaa, aku anggap kota kembang ini hanya tempat persinggahan, karena aku tak mau menetap disini. Awalnya aku meronta tak mau meninggaalkan kota yang penuh dengan mall-mall dan gedung-gedung yang megah, tempat yang memanjakan anak muda seperti diriku ini, tepat di Ibu Kota Negara Indonesia, di mana aku bersama teman-temanku bisa berhura-hura dan menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, belanja dan tentunya pergi ke salon. Ah aku rasa Bandung akan menjadi tempat yang sangat basi, jauh dari ramainya kota Jakarta, namun apa daya aku tetap harus ikut ke Bandung bersama ayah dan bunda.
“Siska, coba lihat alam di Bandung ini, indah bukan?,” Ayah memanggilku seraya menghibur kepenatanku di dalam mobil sepanjang perjalanan ini, aku hanya berbalik dan tersenyum masam lantas kembali melihat ke jendela luar.
“Ayo nak, nikmati perjalanan kita, jangan cemberut begitu dong sayang nanti hilang looh cantiknya !” Bunda ikut serta menghiburku.
Aku tetap terus mengomel dan kesal dengan keadaan ini, bagaimana tidak, sepanjang jalan yang ku lalui hanya tumbuhan-tumbuhan hijau dan alam yang menyapa. Aku akui ini memang sangat indah, tapi dimana mall nya dimana pusat perbelanjaanya?, ah aku boring bukan kepayang. Akhirnya aku memutuskan untuk mengobati kebosanan ini dengan tidur, berharap ketika terbangun aku berada di tempat yang ramai layaknya Jakarta.
“Siska sayang bangun nak kita sudah sampai !” Bunda membangunkan seraya mengusap halus kepalaku, “Aaah bunda,” Aku menjawab malas dengan perlahan membuka mataku.
“Oh Tuhan, benarkah ini?” aku begitu terkejut melihat tempat yang akan kami diami di Bandung ini, ternyata ayah begitu mengerti mauku, tempat ini layaknya rumahku di Jakarta, luas, megah dan yang paling penting gak kampungan. Ah lega rasanya, aku lekas turun dari mobil. “Semangat banget nak,” Sindir ayah sambil tersenyum melihat tingkahku, aku tak menghiraukanya dan bergegas masuk ke rumah. “Kalau tau di Bandung kayak gini, gak akan nolak deh dari kemarin.” Ucapku dalam hati.
Hari-hari ku lewati dengan indah, semuanya begitu mengasyikan, sekolah favorit, teman-teman yang baik, tempat perbelanjaaan yang penuh diskon. Ya Tuhan ini memang duniaku.
“Ayah, bunda aku pulang,” Sapaku sambil memasuki rumah.
“Bilang salam dulu kalau masuk rumah itu. Kemana saja kamu ini? jam segini baru pulang. Apa lagi ini? pasti kamu belanja ga karuan, barang-barang ini kan sudah ada di rumah jadi untuk apa kamu beli lagi? hanya menghambur-hamburkan uang, belajarlah untuk hemat !” Ayah menyentaku dengan nada tinggi.
“Iya nak, kan barang-barang ini tidak terlalu kamu perlukan, belajarlah untuk menghargai uang, keadaan ekonomi kita tidak akan selamanya selalu di atas sayang!” Sambung bunda berkata halus kepadaku.
“Ah ayah sama bunda ini kayak yang gak ngerti anak muda aja, uang itu harus kita nikmati yah, ya dengan cara kayak gini, shopping, main sama temen, yang penting kan siska bahagia, ayah jangan over protektif gitu deh, uang ayah kan masih banyak,” Aku berbicara sambil berjalan menuju kamar.
“Hey tunggu dulu Siska, ayah belum selesai bicara!”
“Sudah sabar yah, nanti kita obrolkan lagi di waktu yang tepat,” Ucap bunda menenangkan.
“Ayah sama bunda seperti yang tidak pernah muda saja, belanja seperti ini kan wajar, lagian gak akan membuat ayah bangkrut ko dengan hal ini, uang ayah saja masih banyak di bank belum lagi proyek yang sedang ayah jalankan, jadi apa yang harus di pikirkan sih.” Geramku dalam hati.
Rasanya semakin hari menjadi semakin baik bagiku, aku tak peduli ayah dan bunda berkata apa, yang aku tau sekarang aku bahagia dengan semua ini, walaupun aku jadi sering menerima teguran dari guru karena nilaiku yang semakin merosot turun, ancaman tidak naik kelas pun sempat aku dapatkan. Menyebalkan rasanya jika harus mengingat semua itu. Sampai suatu hari ayah di panggil ke sekolah karena nilaiku yang tak kunjung membaik, ah biarkan sajalah paling aku dapat teguran seperti biasanya di rumah, sudah gak asing lagi di telingaku hal-hal seperti itu. Aku mending pergi ke salon bareng teman-teman terus belanja ke mall deh aku dengar lagi ada diskon sampai 50%, OMG sayang banget kan kalau harus aku lewatkan.
Ya Tuhan aku lupa waktu, tepat jam 10 aku bergegas untuk pulang ke rumah, wah sudah pasti di omelin ayah nih, tapi yasudahlah biasanya pun tidak terlalu aku dengar.
“Hey Siska, dari mana saja kamu ini, jam segini baru pulang? duduk di sini ayah mau bicara sama kamu!,” sentak ayah menahan langkahku. Ah aku pikir ayah sudah tidur, ternyata mereka sengaja menunggu kedatanganku di ruang tamu. Bersiaplah Siska kamu kena omel ayah.
Ternyata benar dugaanku, ayah mengomeliku karena nilaiku di sekolah yang tak kunjung membaik, terlebih kebiasaanku yang sering shopping dan pulang malam.
“Ah ayah itu kan biasa, aku pasti bisa memperbaiki nilaiku, itu sih gurunya saja yang terlalu lebay, lagian ayah kenapa sih jadi sering mengomel seperti ini?,” jawabku melawan.
“Dasar kamu ini !” Ayah lalu berdiri dan hendak menamparku, aku menunduk takut, untung saja tangan bunda masih sempat menahanya, aku menangis kencang dan lekas berlari ke kamar. Baru kali ini ayah bisa sekasar itu kepadaku, semua ini karena kita pindah ke Bandung, andaikan masih di Jakarta mungkin semuanya tak akan seperti ini. Tempat ini memang sial, tidak seindah di Jakarta. Aku menangis dan meronta kesal hingga tak sadar tertidur di atas lantai.
“KEBAKARAN .. KEBAKARAN” teriakan itu membangunkanku dari tidur yang lelap. Ya Tuhan, betapa terjekutnya aku, di sekelilingku adalah api yang membara.
“Ayaaahhh.. Bundaaa, Toloooong !” aku berteriak kencang meminta tolong sambil menangis dan terbatuk-batuk karena asap yang semakin menutup seisi kamar. “Tolooong…Tolooong, ya Tuhan Toloong aku!”
“Siskaa..Siskaa,” Aku mendengar suara ayah memanggilku, “Ayah, aku disini,”  Itu menjadi ucapanku yang terakhir dariku karena sesak yang aku alami dan akhirnya tak sadarkan diri.
“Ayaah.” Aku berteriak lemas, sambil menahan sakit di tubuhku, “Aku dimana?.” Selintas aku melihat cahaya begitu tajam tepat di atas kepalaku, ruangan yang asing bagiku, terbaring sendiri tanpa teman dengan infusan di tanganku, dimana sebenarnya ini, mengapa badanku begitu sakit tak tertahan.
“Nak, kamu sudah siuman?” Seseorang menghampiriku dari sudut kiri, aku mengenal suaranya namun aku amat ketakutan melihat badanya yang penuh dengan luka bakar, ia menghampiriku dengan kursi roda yang megeluarkan suara nyaring yang semakin membuatku ingin berteriak kencang. “Aaaah,” dengan spontan aku berteriak dan meronta dengan kesakitan.
“Ini bunda nak, kamu kenapa? tenang sayang!”
“Bundaa?” Aku membalikan wajahku dan lekas ingin memeluknya, namun… ya Tuhan kemana tanganku? “Bunda, kemana tangan Siska bunda, kemana?” Aku menangis dengan kencang tak kuasa menahan kenyataan ini, benarkah ini ya Tuhan? atau hanya sekedar mimpi buruk, aku ingin terbangun dari semua mimpi yang menakutkan ini.
“Sabar ya nak, kamu harus sabar, semua ini sudah menjadi ketentuan-Nya, Allah akan selalu memberikan cobaan sesuai batas kemampuan kita sayang,” Bundapun ikut menangis di sampingku.
“Engga bunda, engga. Kenapa semua ini harus terjadi sama aku bunda, kenapa?” Aku lantas merasakan hal yang aneh dengan kakiku, aku lekas membuka selimut dan benar saja Tuhan kaki kirikuu pun tak ada.
“Ya Tuhan.. mengapa Engkau mengambil kaki kiri dan tangan kananku!” Aku berteriak menolak dan merasa Tuhan tidak adil kepadaku.
“Nak, sudah nak, sudah, kamu tidak boleh seperti itu,” Bunda hanya mampu berucap kata itu dan menemaniku dengan menangis tersedu.
Aku tak kuasa menahan kenyataan bahwa kaki dan tanganku tak ada, bunda lantas menceritakan semua kejadian di malam itu, aku hanya bisa menangis dan tak sanggup mengeluarkan satu kata pun. Tiba-tiba aku teringat seseorang “Ayah mana bun, ayah mana?”
“Ayah ada sayang, dia di ruangan sebelah.” Aku lantas meminta bunda untuk mengantarkanku keruangan tempat ayah di rawat, bunda melarangku namun aku terus memaksa. Aku membuka pintu di ruangan 208 itu tepat di samping ruang aku terbaring tadi, sekilas aku melihat sosok laki-laki setengah baya terbaring di atas kasur, wajahnya amat menyeramkan penuh dengan luka bakar, dan saat ku sadar itu adalah ayah. Aku tak kuasa, aku menangis di sampingnya, ayah rela menyelamatkanku dan mengorbankan tubuhnya, aku hanya kehilangan satu tangan dan satu kaki namun ayah kehilangan dua kaki dan pengelihatnya. Ya Tuhan betapa berdosanya aku selama ini telah durhaka kepada ayah dan bunda sementara mereka rela berkorban untukku hingga hampir nyawanya melayang. Aku tak kuat melihat semua ini, aku terkubur dengan rasa bersalah yang sangat dalam, jika terjadi sesuatu terhadap ayah tentu aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri, badanku melemas, aku tak kuasa dan saat itu semua terasa gelap.
3 bulan berlalu dari kejadian itu, aku mulai menerima apa yang terjadi pada hidupku, semua hartaku telah hangus, kecantikanku telah musnah, sebelah tangan dan kakiku tiada, tapi aku tak peduli karena aku masih memiliki ayah dan bunda yang selamat dari kejadian petaka di malam itu. Betapa aku bertaubat pada-Mu ya Rabb atas semua kesalahan ini, betapa durhaka diriku selama ini, betapa berdosa diriku ini. Melihat pengorbanan ayah yang terus berjuang menafkahi kami meski dalam keadaan tanpa kedua kaki dan tak bisa melihat, seharusnya aku malu pada diriku sendiri. Semua ini memacu semangatku untuk melakukan sesuatu bagi mereka, untuk membanggakan mereka dan memperbaiki hidup kami. Semua kami mulai dari 0, membangun keluarga yang harmonis meski tanpa harta yang banyak. Aku pun kembali ke sekolah, meski awalnya aku malu bukan kepalang.
Di hari itu sepulang dari sekolah, tepat di persimpangan jalan, aku bertemu dengan seorang wanita yang umurnya sebaya denganku, dia menyapaku dan mengajak sejenak bercengkrama, aku melihat kondisinya tidak lebih baik dariku, dia mengalami cacat pada kedua tanganya. Rara namanya, aku melihat dia sedang membagikan makanan kepada anak jalanan.
Ya Allah betapa kagumnya diriku, ternyata Rara tak pernah merasakan bagaimana memiliki tangan, dia cacat sejak ia dilahirkan, aku merasa malu jika terus mengeluh, aku jauh lebih beruntung dari pada Rara, dia bercerita banyak kepadaku, aku begitu terkesima dengan keadaan ini. Dia pernah terpuruk saat menyadari dirinya berbeda, namun ia sadar hal itu tidak pernah merubah keadaan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk melangkah dan pada saat itulah kehidupanya di mulai. Kini dia adalah pemilik dan direktur utama sebuah perusahaan besar yang memiliki beberapa cabang di Indonesia, Subhanalloh, betapa luar biasanya dia, selain cantik, sukses, dia pun amat bersahabat dengan orang-orang rendah. Semua ini benar-benar menginspirasiku untuk berkarya dan berubah dari diriku yang dulu.
Sejak hari itu kehidupan pun di mulai, aku mulai belajar bagaimana memanfaatkan sebelah tangan dan kakiku, aku mengoptimalkanya untuk berkarya dan membanggakan orang tua. Aku mencoba belajar untuk memperbaiki nilai-nilai ku di sekolah, aku mencoba menulis dengan tangan kiriku dan jika aku merasa pegal, aku pun belajar bagaimana harus menulis denagn kakiku. Satu tongkat yang harus aku genggam setiap hari untuk membantuku berjalan tentu sedikit banyak membuat tangan kiriku lelah dan lemas, inilah yang membuat aku sering merasa keram saat menulis, namun perjuangan belum berakhir karena masih ada kaki kanan yang membantuku.
Aku ingat saat kecil dahulu aku sempat  meyukai dunia kepenulisan dan saat ini aku ingin kembali belajar bagaimana menulis. Setiap malam setelah membantu ayah bekerja aku sering menorehkan sebuah catatan kecil di buku mungil pemberian Rara saat di jalan waktu itu, aku menorehkan tulisan berupa cerpen atau tulisan-tulisan ringan lainya yang memang aku ingin tulis sebagai wujud peluapan kisah hatiku di keseharian, mungkin orang akrab memanggilnya diary.
Rasanya kehidupanku yang sekarang jauh lebih baik dari kehidupanku yang dulu, walau tanpa kemewahan tapi aku begitu bahagia dan semangat dalam menjalani hidup. Aku menjadi sering menulis dimana pun aku berada. Hingga suatu hari aku melihat sebuah pengumuman di mading sekolah, ternyata itu adalah lomba menulis antar SMA sekota Bandung, aku terpacu untuk mengikutinya, lantas aku segera menulis sebuah cerita berjudul “Siska Dalam Cerita”. Mungkin sedikit lucu karena ini memang berdasarkan kisah nyata dalam hidupku. Semalaman aku tidak tidur untuk membereskan cerpen ini, karena batas akhirnya hanya sampai besok. Aku sebenarnya begitu antusias mengikuti perlombaan ini karena hadiahnya tabungan belajar senilai 2 juta rupiah bagi juara 1, ini akan sangat membantu ayah untuk membiayai sekolahku, ayah tak perlu susah payah untuk melunasi uang ujianku, karena aku akan membayarnya sedniri andaikan aku memenangkan lomba ini.
Pagi pun datang seakan menyapa hariku yang cerah, aku bergegas berangkat ke sekolah dengan penuh semangat membawa lembaran cerpen yang aku tulis semalam. Tepat di gerbang sekolah aku sempat bertabrakan dengan seorang anak yang sama-sama bersekolah di SMAku.
“Maaf.. Maaf, aku buru-buru,” Sapanya sambil terburu-buru membereskan ceceran kertas dan buku yang jatuh dari tanganku.
“Engga apa-apa ko, biar aku yang bereskan,” Sanggahku sambil mengambil barangku yang jatuh. Dia lantas segera pergi ke kelasnya, begitupun aku yang langsung pergi ke ruangan Bu Lina, guru yang menjadi panitia dalam perlombaaan kepenulisan tersebut. Aku tak sabar ingin memberikan cerpen ini kepada bu Lina, bahkan aku tak sabar menunggu hasilnya. Namun, saat aku telah berada di depan bu Lina, aku sadari kertas cerpenku hilang, aku lantas mencari kesana kemari. Bu Lina mencoba menenangkanku, namun aku tak kuasa menahan air mata, cerpen itu adalah karya yang aku buat semalaman dan hilang begitu saja.
“Ayo kita cari Siska, mungkin jatuh di jalan.” Bu Lina mencoba memberikan solusi kepadaku, aku pun lekas keluar dari ruangan bu Lina dan menelusuri setiap jalan yang aku lewati namun hasilnya nol besar, kertas itu memang benar-benar hilang. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, mungkin ini sudah menjadi kehendak-Nya, aku yang harus rela dengan kenyataan ini.
3 minggu setelah kejadian itu, ada sebuah pengumuman yang menghebohkan di mading, teman-teman mencoba menarikku untuk melihatnya dan di sana terpampang :

JUARA 1
LOMBA MENULIS CERPEN SEKOTA BANDUNG
SISKA YULIA ADIKUSUMA
SMA BINTANG

Ya Allah, bukankah aku tak pernah mengirim karyaku? cerpen itu hilang dan aku tak pernah mengikuti lomba ini, tapi kenapa namaku terpampang di mading? Aku pun segera berlari menuju ruangan bu Lina dan menanyakan hal ini, ternyata bu Lina menjelaskan kepadaku bahwa ada seorang siswa yang menemukan karyaku dan langsung memberikanya kepada ibu.
“Maaf ibu belum sempat memberitahumu, tapi kamu memang anak yang membanggakan.”
Aku amat bahagia dengan hal ini, aku segera memberitahu ayah dan bunda, di sana aku melihat senyuman bahagia yang di pancarkan keduanya, tak pernah aku lihat sebelumnya. Mereka lantas memelukku begitu erat.
“Alhamdulillah ya Allah, semua ini memang nikmat yang besar dari-Mu bagi kami.” Ucap syukur tak henti keluar dari mulutku.
3 bulan berlalu, tepat hari ini pengumuman kelulusanku, setelah aku belajar dengan keras, kini saatnya aku mengetahui hasilnya. Dan betapa aku terkejut saat di umumkan bahwa aku di nobatkan sebagai siswa terbaik di SMA Bintang, aku sempat tak percaya dengan nilaiku yang sebelumnya begitu hancur dan kini aku justru di nobatkan menjadi siswa terbaik.
“Alhamdulillah ya Rabb, ini adalah hadiah untuk ayah dan bunda.”
Namun ternyata kebahagiaan tak hanya sampai di situ, tiba-tiba bu Lina mengatakan keapadaku bahwa sebuah penerbit membaca novel yang pernah aku titipkan kepada bu Lina tentang kisah hidupku dan mereka ingin menerbitkanya dalam sebuah buku. Mereka menawarkan sebuah kerja sama dalam dunia kepenulisan, ini berarti sebuah jalan untuk dirikku menjadi seorang penulis terkenal, sesuai dengan impian dan cita-citaku selama ini.
“Alhamdulillah ya Rabb, betapa kebahagiaan yang tiada henti aku dapatkan sejak kecacatanku ini," Ucap syukurku dalam dada. Ternyata cacat ini adalah cara Allah menjadikanku manusia yang mau untuk berkarya bagi bangsa, yang menyadari nikmat yang tiada terhingga. Jauh rasanya jika di bandingkan dengan saat aku memiliki tubuh yang sempurna dan uang yang melimpah, aku justru hanya bisa menjadi masalah dan masalah. Tapi cacat ini yang menyadarkanku, membuat aku yakin bahwa Allah selalu adil terhadap semua hamba-Nya, mereka yang memiliki kelebihan mungkin tak bisa memanfaatkanya untuk sebuah perubahan dan karya, tapi mereka yang memiliki kekeurangan justru memiliki sejuta sayap untuk terbang mengitari dunia dengan semangat juangnya. Maka tak pernah ada batas siapapun untuk berkarya, bahkan untuk aku seorang Siska yang justru bisa berkarya karena satu tangan dan karena satu kakinya,