Aku
bermimpi di dalam tidurku yang lelap, bersama seluruh penantianku yang panjang.
Aku menikmati hari yang indah bersamamu di taman syurga, bersemai sebuah
keluarga dengan atap cinta Rabb-Nya, aku bersandar di bahumu menguraikan
butiran air mata, betapa bahagia aku berada di sampingmu, dapat menjadi ibu
bagi anak-anakmu, menjadi pendamping dakwahmu. Berdua melangkah menguatkan
kilauan dakwah Islam.
Aku
terbesit ingatan saat mengharapkanmu dalam kesendirian, menyelipkanmu dalam
do’a-do’aku pada Illahi, mengalirkan air mata saat kau ucap sebuah janji
bahagia di hadapan Allah, kau genggam erat tanganku, tatap indah wajahku, kau
tersenyum malu, aku pun tertunduk seraya tersipu. Hari itu menjadi saksi simpul sebuah tali yang
baru, berlayar mengarungi bahtera rumah tangga, kau dan aku, kini tak lagi ada,
kau dan aku kini hanyalah sebuah kata sederhana, “kita”.
Akhii..
Namun sekejap aku terbangun dari mimpi indah itu, sekelebat saja dan hilang semua memori indah yang terjadi begitu lama dalam kembang tidurku. Aku menangis, tak kuasa aku menahan rasa kesedihan ini. Tuhan.. sudah sejauh inikah aku melangkah? apakah aku telah terperangkap dalam sel yang ku ciptakan sendiri? Tuhan.. mungkinkah aku telah jauh darimu karena pengharapanku pada lelaki yang belum tentu menjadi imamku?
Namun sekejap aku terbangun dari mimpi indah itu, sekelebat saja dan hilang semua memori indah yang terjadi begitu lama dalam kembang tidurku. Aku menangis, tak kuasa aku menahan rasa kesedihan ini. Tuhan.. sudah sejauh inikah aku melangkah? apakah aku telah terperangkap dalam sel yang ku ciptakan sendiri? Tuhan.. mungkinkah aku telah jauh darimu karena pengharapanku pada lelaki yang belum tentu menjadi imamku?
Aku
tertunduk malu di dalam heningnya malam yang dingin, berharap pada sesosok
pangeran yang begitu sempurna, yang akan meminangku untuk jalinan suci berdua.
Aku bertanya pada angin mamiri yang berhembus, aku berteriak di antara getaran
rasa yang hebat. Sudahkah aku pantas untuk berada di sampingnya? Jika memang
dia adalah ikhwan yang ku sadari hadirnya begitu memikat dan sempurna.
Sementara diriku tak sebanding dengan keshalehanya.
Rabb..
Inikah
jawabanMu atas tanyaku selama ini, saat aku gundah dan begitu rapuh, berharap
Kau dekatkan imamku di balik tirai yang tipis? Menghadirkan dirinya di dalam
setiap permohonanku? Menjadikan apa yang ada pada dirinya sebagai impian dalam
hidupku?
Rabb..
Mungkinkah
ini jawabanMu?
Sungguh
apakah aku telah pantas untuk semua harapanku? harapanku untuk dapatkan imam
yang tersinari dengan iman dan taqwa, yang selalu menutamakan cinta terhadapMu
dari pada apapun yang ada di antara ruang dan waktu ini?
Rabb,
mungkin ini memang jawabMu, Kau ajarkan aku bagaimana memilih, memilih hanya
satu langkah yang harus ku ambil di dalam penantianku ini, yakni terus berusaha
untuk “Memantaskan Diri”, karena janjiMu takan pernah terdustakan, “imamku
adalah cerminan dari apa yang ada pada diriku”.