Sejarah Persis
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok
tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam
dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah,
berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus
ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang
khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar
1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi
nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk
mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk
mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita
organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan
suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran
Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang
(aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah
hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama
al-jama’ah”.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani
Publishing, Oktober 2009, hal. 470-483) menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam
(1894-1952 M) dan Haji Yunus di Bandung pada 30 Muharram 1342 H/Rabu Legi, 12
September 1923 M. didirikan organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis)
untuk menyatukan pemahaman keislaman di masyarakat Indonesia dengan berdasarkan
Al-Quran dan As-Sunnah.
Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, ini
tampil berdakwah sekaligus menentang segala praktik-praktik keagamaan yang
berasal dari luar ajaran Islam.
Selain berupaya memurnikan akidah umat Islam, juga—menurut Ahmad
Mansur—menentang imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan
kolonial Belanda yang bercokol di Indonesia.
“Para ulama aktivis organisasi ini, semuanya berupaya
membangkitkan kesadaran beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara serta
menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Pada umumnya, para aktivis menggunakan
dana pribadi dalam aktivitas gerakannya,” tulis Ahmad Mansur.
Dalam bukunya, Ahmad Mansur Suryanegara juga menguraikan tentang
biografi A.Hassan sejak kelahiran sampai mendirikan Persis di Bandung dan
Bangil. Bahkan, disebutkan bahwa A.Hasan merupakan tokoh yang menolak asas
gerakan kebangsaan atau nasionalisme yang sedang diperjuangkan Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Muslimin
Indonesia (Permi), dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) (baca hal.478).
Dakwah yang dilakukan A.Hassan melalui Persis dengan gerakan
pemurnian mendapat tantangan dari masyarakat, bahkan berdebat dengan Mama
Adjengan Gedong Pesantren Sukamiskin dan KH.Hidayat dengan latar belakang
budaya Sunda.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham
Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya
dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi,
tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah
dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya
adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai
kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis
pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang
berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak)
hingga perguruan tinggi.
Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah
antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah
Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939),
Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda
(Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis.
Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah
menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah,
baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang
Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah
pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang
menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan
menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi
Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri
menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang
proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan.
Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system
organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi
tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua
diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960),
K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll.
Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum
stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah
demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada
pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis
(Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa
Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang
dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan
eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti
aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah,
Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif
Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan
proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom
kepemudaannya. (Pemuda Persis).
Pada masa ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada
awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat
gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang
bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan
Sunnah.
Pada masa ini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan
umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis
tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas
kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama
pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Di bawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amienullah, anggota simpatisa
Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari tiga juta orang yang
tersebar di 14 provinsi dengan 7 pimpinan wilayah, 33 Pimpinan Daerah dan 258
Pimpinan Cabang.
Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri
(Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis,
Himpunan Mahasiswi Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek-aspek
lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh.
Tetapi aktifitas Persis meluas ke berbagai bidang garapan yang
dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar,
menengah hingga perguruan tinggi), dakwah, bimbingan haji, perzakatan, social
ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunan-pembangunan
masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negeri,
menyelenggarakan berbagai seminar, pelatihan dan diskusi pengkajian Islam.
Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam
pengambilan keputusan hokum Islam di kalangan Persis serta Dewan Tafkir semakin
ditingkatkan aktiftasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai masalah
hokum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian social semakin banyak dan
beragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar