KARENA SATU TANGAN, KARENA SATU KAKI
karya : Siti Nur Fatimah
Alam yang indah panorama bumi ini, Bandung menjadi
tempat yang ku singgahi setelah ayah harus berpindah tempat kerja dari Jakarta.
Yaa, aku anggap kota kembang ini hanya tempat persinggahan, karena aku tak mau
menetap disini. Awalnya aku meronta tak mau meninggaalkan kota yang penuh
dengan mall-mall dan gedung-gedung
yang megah, tempat yang memanjakan anak muda seperti diriku ini, tepat di Ibu
Kota Negara Indonesia, di mana aku bersama teman-temanku bisa berhura-hura dan
menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, belanja dan tentunya pergi ke
salon. Ah aku rasa Bandung akan menjadi tempat yang sangat basi, jauh dari
ramainya kota Jakarta, namun apa daya aku tetap harus ikut ke Bandung bersama
ayah dan bunda.
“Siska, coba lihat alam di Bandung ini, indah
bukan?,” Ayah memanggilku seraya menghibur kepenatanku di dalam mobil sepanjang
perjalanan ini, aku hanya berbalik dan tersenyum masam lantas kembali melihat
ke jendela luar.
“Ayo nak, nikmati perjalanan kita, jangan cemberut
begitu dong sayang nanti hilang looh cantiknya !” Bunda ikut serta menghiburku.
Aku tetap terus mengomel dan kesal dengan keadaan
ini, bagaimana tidak, sepanjang jalan yang ku lalui hanya tumbuhan-tumbuhan hijau
dan alam yang menyapa. Aku akui ini memang sangat indah, tapi dimana mall nya dimana pusat perbelanjaanya?,
ah aku boring bukan kepayang.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengobati kebosanan ini dengan tidur, berharap
ketika terbangun aku berada di tempat yang ramai layaknya Jakarta.
“Siska sayang bangun nak kita sudah sampai !”
Bunda membangunkan seraya mengusap halus kepalaku, “Aaah bunda,” Aku menjawab
malas dengan perlahan membuka mataku.
“Oh Tuhan, benarkah ini?” aku begitu terkejut
melihat tempat yang akan kami diami di Bandung ini, ternyata ayah begitu
mengerti mauku, tempat ini layaknya rumahku di Jakarta, luas, megah dan yang
paling penting gak kampungan. Ah lega rasanya, aku lekas turun dari mobil.
“Semangat banget nak,” Sindir ayah sambil tersenyum melihat tingkahku, aku tak
menghiraukanya dan bergegas masuk ke rumah. “Kalau tau di Bandung kayak gini,
gak akan nolak deh dari kemarin.” Ucapku dalam hati.
Hari-hari ku lewati dengan indah, semuanya begitu
mengasyikan, sekolah favorit, teman-teman yang baik, tempat perbelanjaaan yang
penuh diskon. Ya Tuhan ini memang duniaku.
“Ayah, bunda aku pulang,” Sapaku sambil memasuki
rumah.
“Bilang salam dulu kalau masuk rumah itu. Kemana
saja kamu ini? jam segini baru pulang. Apa lagi ini? pasti kamu belanja ga karuan,
barang-barang ini kan sudah ada di rumah jadi untuk apa kamu beli lagi? hanya
menghambur-hamburkan uang, belajarlah untuk hemat !” Ayah menyentaku dengan
nada tinggi.
“Iya nak, kan barang-barang ini tidak terlalu kamu
perlukan, belajarlah untuk menghargai uang, keadaan ekonomi kita tidak akan
selamanya selalu di atas sayang!” Sambung bunda berkata halus kepadaku.
“Ah ayah sama bunda ini kayak yang gak ngerti anak
muda aja, uang itu harus kita nikmati yah, ya dengan cara kayak gini, shopping, main sama temen, yang penting
kan siska bahagia, ayah jangan over protektif gitu deh, uang ayah kan masih
banyak,” Aku berbicara sambil berjalan menuju kamar.
“Hey tunggu dulu Siska, ayah belum selesai
bicara!”
“Sudah sabar yah, nanti kita obrolkan lagi di
waktu yang tepat,” Ucap bunda menenangkan.
“Ayah sama bunda seperti yang tidak pernah muda
saja, belanja seperti ini kan wajar, lagian gak akan membuat ayah bangkrut ko
dengan hal ini, uang ayah saja masih banyak di bank belum lagi proyek yang
sedang ayah jalankan, jadi apa yang harus di pikirkan sih.” Geramku dalam hati.
Rasanya semakin hari menjadi semakin baik bagiku,
aku tak peduli ayah dan bunda berkata apa, yang aku tau sekarang aku bahagia
dengan semua ini, walaupun aku jadi sering menerima teguran dari guru karena
nilaiku yang semakin merosot turun, ancaman tidak naik kelas pun sempat aku
dapatkan. Menyebalkan rasanya jika harus mengingat semua itu. Sampai suatu hari
ayah di panggil ke sekolah karena nilaiku yang tak kunjung membaik, ah biarkan sajalah
paling aku dapat teguran seperti biasanya di rumah, sudah gak asing lagi di
telingaku hal-hal seperti itu. Aku mending pergi ke salon bareng teman-teman
terus belanja ke mall deh aku dengar
lagi ada diskon sampai 50%, OMG
sayang banget kan kalau harus aku lewatkan.
Ya Tuhan aku lupa waktu, tepat jam 10 aku bergegas
untuk pulang ke rumah, wah sudah pasti di omelin ayah nih, tapi yasudahlah
biasanya pun tidak terlalu aku dengar.
“Hey Siska, dari mana saja kamu ini, jam segini
baru pulang? duduk di sini ayah mau bicara sama kamu!,” sentak ayah menahan
langkahku. Ah aku pikir ayah sudah tidur, ternyata mereka sengaja menunggu
kedatanganku di ruang tamu. Bersiaplah Siska kamu kena omel ayah.
Ternyata benar dugaanku, ayah mengomeliku karena
nilaiku di sekolah yang tak kunjung membaik, terlebih kebiasaanku yang sering shopping dan pulang malam.
“Ah ayah itu kan biasa, aku pasti bisa memperbaiki
nilaiku, itu sih gurunya saja yang terlalu lebay, lagian ayah kenapa sih jadi
sering mengomel seperti ini?,” jawabku melawan.
“Dasar kamu ini !” Ayah lalu berdiri dan hendak
menamparku, aku menunduk takut, untung saja tangan bunda masih sempat
menahanya, aku menangis kencang dan lekas berlari ke kamar. Baru kali ini ayah
bisa sekasar itu kepadaku, semua ini karena kita pindah ke Bandung, andaikan masih
di Jakarta mungkin semuanya tak akan seperti ini. Tempat ini memang sial, tidak
seindah di Jakarta. Aku menangis dan meronta kesal hingga tak sadar tertidur di
atas lantai.
“KEBAKARAN .. KEBAKARAN” teriakan itu
membangunkanku dari tidur yang lelap. Ya Tuhan, betapa terjekutnya aku, di
sekelilingku adalah api yang membara.
“Ayaaahhh.. Bundaaa, Toloooong !” aku berteriak
kencang meminta tolong sambil menangis dan terbatuk-batuk karena asap yang
semakin menutup seisi kamar. “Tolooong…Tolooong, ya Tuhan Toloong aku!”
“Siskaa..Siskaa,” Aku mendengar suara ayah
memanggilku, “Ayah, aku disini,” Itu
menjadi ucapanku yang terakhir dariku karena sesak yang aku alami dan akhirnya
tak sadarkan diri.
“Ayaah.” Aku berteriak lemas, sambil menahan sakit
di tubuhku, “Aku dimana?.” Selintas aku melihat cahaya begitu tajam tepat di
atas kepalaku, ruangan yang asing bagiku, terbaring sendiri tanpa teman dengan
infusan di tanganku, dimana sebenarnya ini, mengapa badanku begitu sakit tak
tertahan.
“Nak, kamu sudah siuman?” Seseorang menghampiriku
dari sudut kiri, aku mengenal suaranya namun aku amat ketakutan melihat badanya
yang penuh dengan luka bakar, ia menghampiriku dengan kursi roda yang
megeluarkan suara nyaring yang semakin membuatku ingin berteriak kencang.
“Aaaah,” dengan spontan aku berteriak dan meronta dengan kesakitan.
“Ini bunda nak, kamu kenapa? tenang sayang!”
“Bundaa?” Aku membalikan wajahku dan lekas ingin
memeluknya, namun… ya Tuhan kemana tanganku? “Bunda, kemana tangan Siska bunda,
kemana?” Aku menangis dengan kencang tak kuasa menahan kenyataan ini, benarkah
ini ya Tuhan? atau hanya sekedar mimpi buruk, aku ingin terbangun dari semua
mimpi yang menakutkan ini.
“Sabar ya nak, kamu harus sabar, semua ini sudah
menjadi ketentuan-Nya, Allah akan selalu memberikan cobaan sesuai batas
kemampuan kita sayang,” Bundapun ikut menangis di sampingku.
“Engga bunda, engga. Kenapa semua ini harus
terjadi sama aku bunda, kenapa?” Aku lantas merasakan hal yang aneh dengan
kakiku, aku lekas membuka selimut dan benar saja Tuhan kaki kirikuu pun tak
ada.
“Ya Tuhan.. mengapa Engkau mengambil kaki kiri dan
tangan kananku!” Aku berteriak menolak dan merasa Tuhan tidak adil kepadaku.
“Nak, sudah nak, sudah, kamu tidak boleh seperti
itu,” Bunda hanya mampu berucap kata itu dan menemaniku dengan menangis
tersedu.
Aku tak kuasa menahan kenyataan bahwa kaki dan
tanganku tak ada, bunda lantas menceritakan semua kejadian di malam itu, aku
hanya bisa menangis dan tak sanggup mengeluarkan satu kata pun. Tiba-tiba aku
teringat seseorang “Ayah mana bun, ayah mana?”
“Ayah ada sayang, dia di ruangan sebelah.” Aku
lantas meminta bunda untuk mengantarkanku keruangan tempat ayah di rawat, bunda
melarangku namun aku terus memaksa. Aku membuka pintu di ruangan 208 itu tepat
di samping ruang aku terbaring tadi, sekilas aku melihat sosok laki-laki
setengah baya terbaring di atas kasur, wajahnya amat menyeramkan penuh dengan
luka bakar, dan saat ku sadar itu adalah ayah. Aku tak kuasa, aku menangis di
sampingnya, ayah rela menyelamatkanku dan mengorbankan tubuhnya, aku hanya
kehilangan satu tangan dan satu kaki namun ayah kehilangan dua kaki dan
pengelihatnya. Ya Tuhan betapa berdosanya aku selama ini telah durhaka kepada
ayah dan bunda sementara mereka rela berkorban untukku hingga hampir nyawanya
melayang. Aku tak kuat melihat semua ini, aku terkubur dengan rasa bersalah
yang sangat dalam, jika terjadi sesuatu terhadap ayah tentu aku tak akan bisa
memaafkan diriku sendiri, badanku melemas, aku tak kuasa dan saat itu semua
terasa gelap.
3 bulan berlalu dari kejadian itu, aku mulai
menerima apa yang terjadi pada hidupku, semua hartaku telah hangus,
kecantikanku telah musnah, sebelah tangan dan kakiku tiada, tapi aku tak peduli
karena aku masih memiliki ayah dan bunda yang selamat dari kejadian petaka di
malam itu. Betapa aku bertaubat pada-Mu ya Rabb atas semua kesalahan ini,
betapa durhaka diriku selama ini, betapa berdosa diriku ini. Melihat
pengorbanan ayah yang terus berjuang menafkahi kami meski dalam keadaan tanpa
kedua kaki dan tak bisa melihat, seharusnya aku malu pada diriku sendiri. Semua
ini memacu semangatku untuk melakukan sesuatu bagi mereka, untuk membanggakan
mereka dan memperbaiki hidup kami. Semua kami mulai dari 0, membangun keluarga
yang harmonis meski tanpa harta yang banyak. Aku pun kembali ke sekolah, meski
awalnya aku malu bukan kepalang.
Di hari itu sepulang dari sekolah, tepat di
persimpangan jalan, aku bertemu dengan seorang wanita yang umurnya sebaya
denganku, dia menyapaku dan mengajak sejenak bercengkrama, aku melihat
kondisinya tidak lebih baik dariku, dia mengalami cacat pada kedua tanganya.
Rara namanya, aku melihat dia sedang membagikan makanan kepada anak jalanan.
Ya Allah betapa kagumnya diriku, ternyata Rara tak
pernah merasakan bagaimana memiliki tangan, dia cacat sejak ia dilahirkan, aku
merasa malu jika terus mengeluh, aku jauh lebih beruntung dari pada Rara, dia
bercerita banyak kepadaku, aku begitu terkesima dengan keadaan ini. Dia pernah
terpuruk saat menyadari dirinya berbeda, namun ia sadar hal itu tidak pernah
merubah keadaan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk melangkah dan pada saat
itulah kehidupanya di mulai. Kini dia adalah pemilik dan direktur utama sebuah
perusahaan besar yang memiliki beberapa cabang di Indonesia, Subhanalloh, betapa
luar biasanya dia, selain cantik, sukses, dia pun amat bersahabat dengan
orang-orang rendah. Semua ini benar-benar menginspirasiku untuk berkarya dan
berubah dari diriku yang dulu.
Sejak hari itu kehidupan pun di mulai, aku mulai
belajar bagaimana memanfaatkan sebelah tangan dan kakiku, aku mengoptimalkanya
untuk berkarya dan membanggakan orang tua. Aku mencoba belajar untuk
memperbaiki nilai-nilai ku di sekolah, aku mencoba menulis dengan tangan kiriku
dan jika aku merasa pegal, aku pun belajar bagaimana harus menulis denagn
kakiku. Satu tongkat yang harus aku genggam setiap hari untuk membantuku
berjalan tentu sedikit banyak membuat tangan kiriku lelah dan lemas, inilah
yang membuat aku sering merasa keram saat menulis, namun perjuangan belum berakhir
karena masih ada kaki kanan yang membantuku.
Aku ingat saat kecil dahulu aku sempat meyukai dunia kepenulisan dan saat ini aku
ingin kembali belajar bagaimana menulis. Setiap malam setelah membantu ayah
bekerja aku sering menorehkan sebuah catatan kecil di buku mungil pemberian
Rara saat di jalan waktu itu, aku menorehkan tulisan berupa cerpen atau
tulisan-tulisan ringan lainya yang memang aku ingin tulis sebagai wujud
peluapan kisah hatiku di keseharian, mungkin orang akrab memanggilnya diary.
Rasanya kehidupanku yang sekarang jauh lebih baik
dari kehidupanku yang dulu, walau tanpa kemewahan tapi aku begitu bahagia dan
semangat dalam menjalani hidup. Aku menjadi sering menulis dimana pun aku
berada. Hingga suatu hari aku melihat sebuah pengumuman di mading sekolah,
ternyata itu adalah lomba menulis antar SMA sekota Bandung, aku terpacu untuk
mengikutinya, lantas aku segera menulis sebuah cerita berjudul “Siska Dalam
Cerita”. Mungkin sedikit lucu karena ini memang berdasarkan kisah nyata dalam
hidupku. Semalaman aku tidak tidur untuk membereskan cerpen ini, karena batas
akhirnya hanya sampai besok. Aku sebenarnya begitu antusias mengikuti perlombaan
ini karena hadiahnya tabungan belajar senilai 2 juta rupiah bagi juara 1, ini
akan sangat membantu ayah untuk membiayai sekolahku, ayah tak perlu susah payah
untuk melunasi uang ujianku, karena aku akan membayarnya sedniri andaikan aku
memenangkan lomba ini.
Pagi pun datang seakan menyapa hariku yang cerah,
aku bergegas berangkat ke sekolah dengan penuh semangat membawa lembaran cerpen
yang aku tulis semalam. Tepat di gerbang sekolah aku sempat bertabrakan dengan
seorang anak yang sama-sama bersekolah di SMAku.
“Maaf.. Maaf, aku buru-buru,” Sapanya sambil
terburu-buru membereskan ceceran kertas dan buku yang jatuh dari tanganku.
“Engga apa-apa ko, biar aku yang bereskan,”
Sanggahku sambil mengambil barangku yang jatuh. Dia lantas segera pergi ke
kelasnya, begitupun aku yang langsung pergi ke ruangan Bu Lina, guru yang
menjadi panitia dalam perlombaaan kepenulisan tersebut. Aku tak sabar ingin
memberikan cerpen ini kepada bu Lina, bahkan aku tak sabar menunggu hasilnya.
Namun, saat aku telah berada di depan bu Lina, aku sadari kertas cerpenku hilang,
aku lantas mencari kesana kemari. Bu Lina mencoba menenangkanku, namun aku tak
kuasa menahan air mata, cerpen itu adalah karya yang aku buat semalaman dan
hilang begitu saja.
“Ayo kita cari Siska, mungkin jatuh di jalan.” Bu
Lina mencoba memberikan solusi kepadaku, aku pun lekas keluar dari ruangan bu
Lina dan menelusuri setiap jalan yang aku lewati namun hasilnya nol besar,
kertas itu memang benar-benar hilang. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain
menangis, mungkin ini sudah menjadi kehendak-Nya, aku yang harus rela dengan
kenyataan ini.
3 minggu setelah kejadian itu, ada sebuah
pengumuman yang menghebohkan di mading, teman-teman mencoba menarikku untuk
melihatnya dan di sana terpampang :
JUARA 1
LOMBA MENULIS CERPEN SEKOTA BANDUNG
SISKA YULIA ADIKUSUMA
SMA BINTANG
Ya Allah, bukankah aku tak pernah mengirim
karyaku? cerpen itu hilang dan aku tak pernah mengikuti lomba ini, tapi kenapa
namaku terpampang di mading? Aku pun segera berlari menuju ruangan bu Lina dan
menanyakan hal ini, ternyata bu Lina menjelaskan kepadaku bahwa ada seorang
siswa yang menemukan karyaku dan langsung memberikanya kepada ibu.
“Maaf ibu belum sempat memberitahumu, tapi kamu
memang anak yang membanggakan.”
Aku amat bahagia dengan hal ini, aku segera
memberitahu ayah dan bunda, di sana aku melihat senyuman bahagia yang di
pancarkan keduanya, tak pernah aku lihat sebelumnya. Mereka lantas memelukku
begitu erat.
“Alhamdulillah ya Allah, semua ini memang nikmat
yang besar dari-Mu bagi kami.” Ucap syukur tak henti keluar dari mulutku.
3 bulan berlalu, tepat hari ini pengumuman
kelulusanku, setelah aku belajar dengan keras, kini saatnya aku mengetahui
hasilnya. Dan betapa aku terkejut saat di umumkan bahwa aku di nobatkan sebagai
siswa terbaik di SMA Bintang, aku sempat tak percaya dengan nilaiku yang sebelumnya
begitu hancur dan kini aku justru di nobatkan menjadi siswa terbaik.
“Alhamdulillah ya Rabb, ini adalah hadiah untuk
ayah dan bunda.”
Namun ternyata kebahagiaan tak hanya sampai di
situ, tiba-tiba bu Lina mengatakan keapadaku bahwa sebuah penerbit membaca
novel yang pernah aku titipkan kepada bu Lina tentang kisah hidupku dan mereka
ingin menerbitkanya dalam sebuah buku. Mereka menawarkan sebuah kerja sama
dalam dunia kepenulisan, ini berarti sebuah jalan untuk dirikku menjadi seorang
penulis terkenal, sesuai dengan impian dan cita-citaku selama ini.
“Alhamdulillah ya Rabb, betapa kebahagiaan yang
tiada henti aku dapatkan sejak kecacatanku ini," Ucap syukurku dalam dada.
Ternyata cacat ini adalah cara Allah menjadikanku manusia yang mau untuk
berkarya bagi bangsa, yang menyadari nikmat yang tiada terhingga. Jauh rasanya
jika di bandingkan dengan saat aku memiliki tubuh yang sempurna dan uang yang
melimpah, aku justru hanya bisa menjadi masalah dan masalah. Tapi cacat ini
yang menyadarkanku, membuat aku yakin bahwa Allah selalu adil terhadap semua
hamba-Nya, mereka yang memiliki kelebihan mungkin tak bisa memanfaatkanya untuk
sebuah perubahan dan karya, tapi mereka yang memiliki kekeurangan justru memiliki
sejuta sayap untuk terbang mengitari dunia dengan semangat juangnya. Maka tak
pernah ada batas siapapun untuk berkarya, bahkan untuk aku seorang Siska yang
justru bisa berkarya karena satu tangan dan karena satu kakinya,